TERITORIAL.COM, JAKARTA – Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, mengumumkan pengunduran diri dari jabatannya pada Minggu (7/9), meski baru menjabat kurang dari setahun.
Pemicu Pengunduran Diri PM Ishiba
Kekalahan besar Partai Demokrat Liberal (LDP) pada pemilu untuk pertama kalinya dalam 15 tahun, serta kehilangan mayoritas di majelis tinggi pada Juli lalu, memicu keputusan mundurnya Shigeru Ishiba dari jabatannya.
PM Ishiba menyampaikan keputusan tersebut tepat sehari sebelum LDP memutuskan soal pemilihan internal yang berpotensi menyingkirkannya dari kursi kepemimpinan.
LDP sendiri telah menguasai dunia politik jepang hampir tujuh dekade. Namun, kekalahan berturut-turut membuat posisi Ishiba tertekan dan semakin sulit dipertahankan.
Ketidakpastian yang Dihadapi Jepang
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar keempat di dunia sekaligus sekutu utama Amerika Serikat, situasi politik Jepang kini berada dalam ketidakpastian.
Jepang tengah menghadapi berbagai tantangan, mulai dari ketegangan dengan Tiongkok hingga meningkatnya ancaman keamanan di kawasan Asia Timur.
“Sekarang setelah tercapai kesepakatan dalam perundingan terkait kebijakan tarif AS, saya percaya inilah saat yang paling tepat,” ujar Ishiba.
Pernyataan Ishiba yang merujuk pada perjanjian yang ditandatangani pekan lalu untuk mengurangi tarif yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump terhadap mobil Jepang dan ekspor lainnya.
Tekanan Politik Dalam Negeri
Ishiba masih menolak desakan untuk mundur hingga Minggu, dengan menegaskan bahwa menjadi tanggung jawabnya untuk menyelesaikan sengketa dengan Washington sebelum melepaskan jabatannya.
Meski tekanan politik dalam negeri terus meningkat, Perdana Menteri berusia 68 tahun itu menegaskan akan tetap menjalankan tugasnya “bagi rakyat” sampai rakyat dan partai memilih penggantinya secara resmi.
“Saya sangat meyakini bahwa perundingan mengenai kebijakan tarif AS, yang bisa disebut sebagai krisis nasional, harus diselesaikan di bawah tanggung jawab pemerintahan kami,” katanya.
Ishiba, menjabat sebagai Perdana Menteri sejak Oktober 2024 dengan janji menekan lonjakan harga.
Namun, ia gagal dalam membangun keyakinan publik di tengah tantangan ekonomi, krisis biaya hidup, serta hubungan politik yang tegang dengan Amerika Serikat.
Jepang justru menghadapi inflasi tinggi, ditandai dengan naiknya harga kebutuhan pokok, terutama beras yang melonjak hingga dua kali lipat dalam setahun terakhir. Kondisi ini memberi dampak politik yang serius bagi pemerintahannya.
Kepercayaan masyarakat juga semakin menurun akibat berbagai kontroversi, mulai dari kritik atas keputusan Ishiba yang hanya menunjuk dua perempuan dalam kabinet hingga kasus pemberian hadiah mahal kepada anggota partai.

