TERITORIAL.COM, JAKARTA – Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan keragaman budaya. Di Provinsi Bengkulu, salah satu tradisi yang hingga kini tetap lestari dan menjadi ikon daerah adalah upacara Tabut atau Tabuik.
Ritual ini digelar setiap tahun pada 1–10 Muharam oleh masyarakat setempat sebagai bentuk penghormatan terhadap kisah kepahlawanan cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali, yang gugur dalam Perang Karbala pada 61 Hijriah atau 681 Masehi.
Tradisi Tabut di Bengkulu diperkirakan bermula pada kedatangan Imam Maulana Ichsad, keturunan Ali Zainal Abidin bin Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib. Beliau bersama 13 pengikutnya di Bandar Sungai Serut pada 1336 Masehi (736 Hijriah). Merekalah yang diyakini memperkenalkan ritual ini kepada masyarakat setempat.
Prosesi inti biasanya dipusatkan di kawasan pemakaman umum yang dikenal dengan Makam Karbela. Lokasi ini dipercaya sebagai tempat peristirahatan terakhir Imam Senggolo atau Syekh Burhanuddin, tokoh penyebar Islam di Bengkulu.
Secara etimologis, istilah “Tabut” berasal dari kata Arab at-tabutu yang berarti peti atau keranda. Dalam Al-Quran, kata ini juga disebut dalam Surah Al-Baqarah ayat 284 yang memiliki makna sebagai pertanda atau simbol suci.
Makna ini terasa kental dalam setiap tahapan ritual Tabut yang mengisahkan kembali penderitaan Husein di Padang Karbala, sekaligus menjadi media renungan spiritual bagi umat Muslim di Bengkulu.
Prosesi Sakral yang Penuh Makna
Rangkaian upacara Tabut dimulai 2 hari sebelum 1 Muharam. Pihak keluarga atau kelompok yang akan menjalankan ritual diwajibkan berdoa memohon keselamatan kepada Allah SWT sebelum prosesi dimulai.
Salah satu tahap paling penting adalah upacara pengambilan tanah. Tanah tersebut harus diambil dari tempat yang dianggap keramat, seperti Pantai Nala atau Tapak Paderi, yang oleh masyarakat diberi julukan “Tabut Imam” dan “Tabut Bangsal”.
Pengambilan tanah dilakukan dengan membawa sesajen berupa bubur merah putih, air jahe, air jeruk, air cendana, tujuh lembar daun sirih, dan tujuh batang rokok. Tanah yang akan diambil terlebih dahulu disiram air sesajen, lalu dibungkus kain putih sebagai simbol kain kafan. Ritual ini melambangkan kesadaran bahwa manusia berasal dari tanah dan kelak akan kembali kepada tanah.
Selain itu, terdapat sejumlah prosesi lain seperti duduk penja (mencuci jari), meradai, menjara, anak penja, gam, arak gendang, hingga arak-arakan Tabut Terbuang pada pagi 10 Muharam. Pada hari terakhir, tabut-tabut yang telah dibuat diarak menuju rawa-rawa untuk kemudian dihancurkan. Tindakan ini dimaknai sebagai simbol pembuangan sifat buruk, kesialan, dan hal-hal negatif, agar pelaku adat kembali suci dan siap menempuh kehidupan yang lebih baik.
Di pintu gerbang menuju kompleks Makam Karbela, juru kunci telah menanti kedatangan arak-arakan tabut. Sebelum masuk kawasan tersebut, peserta ritual menjalani prosesi khusus untuk meluruskan kesalahan atau kekhilafan, kemudian acara ditutup dengan pembacaan salam, selawat, dan doa.
Dari Ritual Sakral Menjadi Festival Budaya
Seiring perkembangan zaman, Tabut kini tak hanya menjadi ritual sakral keluarga keturunan tertentu, tetapi juga telah beradaptasi menjadi festival budaya yang meriah. Pemerintah daerah bersama masyarakat menjadikannya agenda tahunan pariwisata, lengkap dengan pameran seni, lomba tradisional, hingga karnaval yang menarik perhatian wisatawan. Walupun begitu, esensi spiritual dan nilai sejarah Tabut tetap dijaga agar tidak hilang di balik kemeriahan.
Bagi masyarakat Bengkulu, setiap prosesi Tabut bukan sekadar upacara, tetapi juga momentum untuk merenungkan kembali nilai pengorbanan, kesabaran, dan keteguhan iman. Tradisi ini menjadi pengingat bahwa peristiwa Karbala menyimpan pesan tentang keadilan dan perjuangan melawan ketidakadilan.
Dengan segala kekayaan simbol, sejarah, dan kemeriahan acaranya, Tabut Bengkulu kini telah diakui sebagai warisan budaya takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Status ini semakin memperkuat upaya pelestarian tradisi agar tetap hidup di tengah masyarakat dan dikenal luas hingga ke mancanegara.