TERITORIAL.COM, JAKARTA – Setelah era great resignation dan tren job hopping yang identik dengan “kutu loncat” di dunia kerja, kini muncul fenomena baru yang berlawanan: job hugging. Istilah ini menggambarkan situasi di mana seorang karyawan memilih untuk bertahan “memeluk” pekerjaannya erat-erat, meskipun ia sudah merasa tidak nyaman, tidak berkembang, atau bahkan tidak bahagia di posisi tersebut.
Fenomena ini menjadi cerminan dari dinamika pasar kerja yang penuh ketidakpastian. Jika dulu banyak orang berani resign demi mencari tantangan baru, kini banyak yang lebih memilih “cari aman”. Tapi, apa sebenarnya yang menyebabkan fenomena ini mulai muncul?
Penyebab di Balik “Job Hugging”
Ada beberapa faktor utama yang membuat seseorang terjebak dalam kondisi job hugging:
- Ketidakpastian Ekonomi dan Pasar Kerja
Ini adalah alasan paling dominan. Di tengah isu perlambatan ekonomi, bayang-bayang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), dan persaingan yang semakin ketat, para pekerja merasa lebih aman berada di zona nyaman, yaitu pekerjaan yang sudah pasti. Risiko menjadi pengangguran jauh lebih menakutkan dibandingkan bertahan di pekerjaan yang kurang ideal.
- Rasa Takut dan Minimnya Kepercayaan Diri
Banyak karyawan, terutama mereka yang sudah merasa stagnan, takut untuk menghadapi tantangan baru. Mereka khawatir tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan baru, atau bahkan tidak akan menemukan pekerjaan lain yang lebih baik. Rasa takut ini menciptakan mentalitas “lebih baik burung di tangan daripada dua di pohon.”
- Keterbatasan Peluang di Luar
Seringkali, fenomena _job hugging_ muncul karena memang tidak ada banyak pilihan lain di luar sana. Lowongan pekerjaan yang sesuai mungkin terbatas, sementara kualifikasi yang dibutuhkan semakin tinggi. Hal ini membuat pekerja merasa bahwa bertahan adalah satu-satunya pilihan rasional.
- Budaya Perusahaan
Di beberapa perusahaan, terutama yang memiliki budaya hierarkis atau yang menjanjikan job security (keamanan kerja) yang tinggi, seperti BUMN atau instansi pemerintah, loyalitas menjadi nilai yang sangat dihargai. Karyawan memilih bertahan karena mereka merasa aman dari risiko dipecat dan mendapatkan tunjangan yang stabil, meskipun tidak ada perkembangan karier yang berarti.
Dampak “Job Hugging”: Loyalitas atau Stagnasi?
Meskipun job hugging bisa dianggap sebagai bentuk loyalitas, para ahli sepakat bahwa fenomena ini bagaikan pedang bermata dua.
- Bagi Karyawan: Dampak negatifnya sangat terasa. Mereka bisa mengalami
stagnasi karier, kehilangan motivasi, dan bahkan berisiko mengalami burnout karena terus-menerus bekerja di lingkungan yang tidak menyenangkan. Tanpa tantangan baru, keterampilan mereka juga bisa menjadi kurang relevan di masa depan.
- Bagi Perusahaan: Di satu sisi, tingkat turnover (pergantian karyawan) yang
rendah terlihat positif. Namun, di sisi lain, job hugging bisa menekan produktivitas. Karyawan yang bertahan karena terpaksa cenderung bekerja hanya sebatas formalitas, tanpa semangat untuk berinovasi atau memberikan kontribusi lebih. Hal ini pada akhirnya bisa mengurangi daya saing perusahaan secara keseluruhan.
Untuk mengatasi hal ini, baik karyawan maupun perusahaan perlu mengambil langkah proaktif. Karyawan harus berani mengevaluasi kembali tujuan karier mereka dan mencari cara untuk berkembang, baik dengan mengambil kursus tambahan, membangun jaringan, atau bahkan mencari pekerjaan sampingan.
Sementara itu, perusahaan harus peka terhadap fenomena ini. Mereka tidak bisa lagi hanya mengandalkan loyalitas buta. Perusahaan perlu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, menyediakan peluang pengembangan, dan memberikan apresiasi yang adil, sehingga karyawan memilih bertahan bukan karena terpaksa, melainkan karena mereka merasa dihargai dan memiliki masa depan yang jelas di sana.
(*)