TERITORIAL.COM, JAKARTA – Pulau Bali kerap identik dengan keindahan alamnya yang memanjakan mata.
Namun, pesona Pulau Dewata tidak hanya terletak pada panorama alam, melainkan juga pada tradisi spiritual yang tetap lestari hingga sekarang.
Salah satu warisan budaya yang paling mudah ditemui adalah canang sari.
Kesederhanaan yang Penuh Makna
Walaupun terlihat sederhana, persembahan ini memiliki makna yang mendalam bagi umat Hindu Bali.
Lebih dari sekadar ritual, canang sari mencerminkan cara pandang masyarakat Bali terhadap kehidupan dan keseimbangan.
Canang sari tidak hanya berfungsi sebagai sarana persembahan, tetapi juga ikon budaya Bali yang menjembatani tradisi dengan dunia luar. Kesederhanaannya justru menampilkan keindahan nilai spiritual yang mendalam.
Makna dan Tujuan “Canang Sari”
Secara etimologis, “canang” berasal dari gabungan ca yang berarti indah dan nang yang berarti tujuan, sedangkan “sari” berarti inti atau esensi.
Secara keseluruhan, canang sari diartikan sebagai persembahan yang dibuat dengan niat tulus dan penuh keindahan.
Dalam persembahyangan umat Hindu, canang sari merupakan bentuk paling sederhana sekaligus bermakna inti (kanista = inti), karena setiap banten atau yadnya selalu menyertakannya.
Canang sari biasanya digunakan dalam persembahyangan sehari-hari di Bali dan memiliki makna simbolis sebagai bahasa Weda untuk memohon kepada Sang Hyang Widhi, agar dianugerahi kekuatan Widya bagi Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung.
Penempatannya pun beragam, tidak hanya di pura, tetapi juga sering terlihat di depan rumah, toko, hingga di kendaraan.
Simbol dan Unsur dalam Canang Sari
Wadah canang sari biasanya terbuat dari janur berbentuk ceper dan diisi bunga dengan warna berbeda yang mewakili empat penjuru mata angin dan dewa pelindungnya.
Bunga putih melambangkan Dewa Iswara (timur), merah Dewa Brahma (selatan), kuning Dewa Mahadeva (barat), dan biru atau hijau Dewa Wisnu (utara).
Selain bunga, canang sari kerap dilengkapi beras, sirih, kapur, hingga uang koin, yang masing-masing memiliki makna sendiri.
Beras sebagai simbol kemakmuran, sirih dan kapur untuk kesatuan, sedangkan uang sebagai lambang ketulusan dalam memberi.
Dupa yang dibakar saat persembahan berfungsi sebagai perantara doa agar tersampaikan ke alam spiritual.
Filosofi Tiga Sumber Kebahagiaan
Lebih dari sekadar ritual, canang sari mencerminkan ajaran Tri Hita Karana mengenai tiga sumber kebahagiaan, harmoni dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.
Melalui tradisi ini, masyarakat Bali selalu diingatkan untuk bersyukur, tulus berbagi, dan menjaga keseimbangan hidup.
Nilai-nilai tersebut menjadi pondasi dalam keseharian sekaligus warisan budaya yang tetap relevan hingga kini.