TERITORIAL.COM, JAKARTA – Pada Senin (10 November 2025), Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa melakukan kunjungan bersejarah ke Gedung Putih untuk bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, menandai tonggak baru dalam hubungan antara kedua negara.
Al Sharaa, yang tahun lalu menggulingkan rezim Bashar al‑Assad dan kini memimpin Suriah sebagai presiden sejak Januari 2025, memiliki jejak masa lalu yang sarat konflik.
Ia sebelumnya dikenal sebagai pimpinan kelompok pemberontak Islamis (Hayat Tahrir al‑Sham/HTS) yang pernah berafiliasi dengan al-Qaida.
Langkah diplomatik ini menunjukkan perubahan dramatis, yakni Suriah yang selama bertahun-tahun terisolasi kini membuka lembaran baru dalam hubungannya dengan Barat.
Dalam pertemuan tertutup dengan Trump, al-Sharaa dan Trump membahas sejumlah agenda utama, diantaranya:
- Memperkuat hubungan bilateral antara AS dan Suriah, termasuk bidang ekonomi dan keamanan.
- Dukungan AS terhadap proses rekonstruksi Suriah, Trump menyatakan, “We’ll do everything we can to make Syria successful.”
- Suriah menyampaikan niatnya untuk bergabung dengan koalisi internasional melawan Islamic State (ISIS) sebagai bagian dari aliansi global yang dipimpin AS.
- Pemerintah Amerika Serikat mengumumkan penangguhan sementara sejumlah sanksi ekonomi terhadap Suriah. Langkah ini termasuk penghentian sementara penerapan Caesar Syria Civilian Protection Act atau Undang-Undang Caesar selama 180 hari. Artinya, aturan sanksi keras yang selama ini membatasi hubungan ekonomi dengan Suriah tetap berlaku secara hukum, namun untuk sementara tidak dijalankan. Dengan begitu, perusahaan maupun investor diperbolehkan menjalin kerja sama terbatas tanpa risiko pelanggaran hukum Amerika Serikat. Meski demikian, pembatalan penuh terhadap undang-undang tersebut tetap membutuhkan persetujuan Kongres, karena Caesar Act merupakan kesepakatan legislasi, bukan keputusan eksekutif presiden.
Kunjungan ini bukan hanya simbol politik yang menghadirkan Suriah sebagai mitra diplomatik dan keamanan yang potensial, setelah lebih dari satu dekade konflik dan isolasi. Ini adalah kunjungan pertama seorang pemimpin Suriah ke Washington sejak negara itu merdeka.
Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, seperti Rekonstruksi Suriah diperkirakan memerlukan dana ratusan miliar dolar AS, dengan estimasi konservatif sekitar US$200 miliar.
Tak hanya itu, Masa lalu al-Sharaa dalam pemberontakan dan kaitannya dengan jaringan teroris menjadi sorotan, dan beberapa negara menyambut skeptis terhadap normalisasi penuh hubungan dengan Suriah.
Walaupun sanksi ditangguhkan, terdapat banyak aturan dan pembatasan tetap berlaku hingga keputusan Kongres AS dan proses legislatif lainnya.
Pertemuan al-Sharaa dan Trump menandai perubahan besar dalam lanskap geopolitik Timur Tengah.
Suriah kini bergerak dari posisi terisolasi menuju kemungkinan peran aktif di bidang keamanan dan ekonomi global, khususnya dalam perang melawan ISIS dan rekonstruksi pasca perang.
Namun, realisasi transformasi tersebut akan bergantung pada keberlanjutan reformasi internal Suriah, komitmen aktor internasional, serta bagaimana isu masa lalu ditangani.

