TERITORIAL.COM, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang tentang perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) semakin mendekati pengesahan.
Komisi III DPR RI bersama pemerintah telah mencapai kesepakatan atas seluruh substansi revisi dan memutuskan untuk melanjutkan RUU KUHAP ke pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna.
Dalam rapat Komisi III, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman secara langsung meminta persetujuan anggota untuk melanjutkan pembahasan ke tingkat II.
“Hadirin yang kami hormati. Kami meminta persetujuan kepada anggota Komisi III dan pemerintah. Apakah naskah rancangan UU KUHAP dapat dilanjutkan dalam pembicaraan tingkat 2, yaitu pengambilan keputusan atas RUU KUHAP yang akan dijadwalkan dalam rapat paripurna DPR RI terdekat? Setuju?” ungkap Habiburokhman.
Dengan penyampaian itu, DPR menegaskan bahwa pembahasan substansi telah selesai, sehingga panitia kini hanya menyempurnakan aspek redaksional dan teknis.
Tantangan Transparansi dan Akuntabilitas
Meskipun proses berjalan cepat, beberapa lembaga pemantau hukum tetap memberikan perhatian serius. Mereka menilai revisi KUHAP belum sepenuhnya menjamin akuntabilitas proses pidana, terutama dalam menangani laporan masyarakat.
Oleh karena itu, para pengamat menekankan perlunya meninjau kembali sejumlah pasal agar prinsip transparansi tidak sekadar normatif.
Dalam menanggapi dinamika tersebut, Habiburokhman menyoroti tekanan besar yang dihadapi sistem peradilan pidana saat ini meliputi untutan akan transparansi, akuntabilitas serta perlindungan hak-hak tersangka, korban, saksi, disabilitas, perempuan, dan anak.
Komentar itu menegaskan bahwa revisi KUHAP harus merespons kebutuhan perlindungan hukum yang semakin kompleks.
14 Substansi Utama Perubahan KUHAP
Komisi III menyampaikan bahwa revisi KUHAP membawa 14 perubahan utama yang menjadi fondasi pembaruan sistem acara pidana. Substansi tersebut meliputi:
- Penyesuaian hukum acara dengan perkembangan nasional dan internasional.
- Penyelarasan prosedur pidana dengan nilai-nilai dalam KUHP Nasional, seperti pendekatan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif.
- Penegasan diferensiasi fungsi antar aparat penegak hukum.
- Reformulasi kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum.
- Penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi.
- Peningkatan peran advokat dan akses bantuan hukum.
- Pengaturan mekanisme keadilan restoratif dari penyelidikan hingga persidangan.
- Perlindungan khusus bagi kelompok rentan.
- Penguatan prosedur bagi penyandang disabilitas.
- Pembatasan dan pengawasan upaya paksa sesuai prinsip HAM.
- Pengenalan mekanisme baru seperti plea bargaining dan deferred prosecution.
- Pengaturan tegas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi.
- Penegasan hak korban atas restitusi dan rehabilitasi.
- Modernisasi proses peradilan agar lebih cepat, sederhana, dan transparan..
Pemerintah menilai konsistensi antara hukum materiil dan hukum acara sangat penting guna mencegah kekosongan hukum.
Habiburokhman juga menambahkan bahwa perlindungan terhadap seluruh pihak yang terlibat dalam perkara pidana menjadi prinsip utama.
“RUU KUHAP harus memastikan setiap individu yang terlibat, baik sebagai tersangka maupun korban, tetap mendapatkan perlakuan yang adil dan setara,” tegasnya.
Urgensi Pengawasan Publik
Meskipun pembahasan telah memasuki tahap akhir, sejumlah pihak meminta DPR tetap melibatkan publik. Mereka menilai revisi KUHAP memiliki dampak jangka panjang terhadap sistem peradilan Indonesia, sehingga mekanisme pengawasan dan evaluasi tidak boleh diabaikan.
Dengan demikian, setelah RUU ini disahkan, pemerintah perlu memastikan bahwa implementasinya berjalan transparan, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip keadilan yang menjadi tujuan utama pembaruan.

