TERITORIAL.COM, JAKARTA – Pemandangan dan suasana yang berbeda dirasakan oleh 7 dosen muda Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) yang terdiri dari dosen-dosen Ilmu Politik, Ilmu Hubungan Internasional, dan Komunikasi. Ketika membaca literatur ataupun berita kebijakan pangan nasional, kita sering berhadapan dengan istilah “ketahanan pangan”, “kedaulatan pangan”, “reformasi agraria”, hingga “food estate”. Di balik berbagai istilah, ada banyak perdebatan mengenai istilah-istilah yang tepat bagi kesejahteraan pangan dan juga petani di Indonesia yang kini semakin terancam punah. Sehingga, 7 dosen FISIP UPNVJ berangkat dari pertanyaan di mana suara dan posisi petani dalam wacana besar kesejahteraan pangan dan petani saat ini? Apakah kebijakan-kebijakan tersebut pernah lahir dari pengalaman hidup mereka?
Pertanyaan itu mengemuka menjadi dasar kegiatan pengabdian masyarakat dilakukan berkolaborasi dengan Serikat Petani Indonesia (SPI) Cabang Bogor. Pengabdian dilakukan dalam bentuk diskusi dan sosialisasi yang digelar dosen FISIP UPN Veteran Jakarta di Gedung Aula SPI. Selain dihadiri oleh 7 dosen muda FISIP UPNVJ, kegiatan bertajuk “Sosialisasi Kebijakan Pertanian Berkelanjutan dan Kampanye Produk Agroekologi” itu dihadiri oleh 17 perwakilan petani.
Sejarah Kebijakan Pertanian yang Terus Berulang
Afgan Fadillah, dosen HI FISIP UPNVJ yang berperan sebagai ketua kelompok pengabdian mengawali kegaitan dengan memberikan pengantar singkat dari tujuan dan maksud kedatangan dosen FISIP UPNVJ ke teman-teman petani. Dalam sambutannya, ia menyoroti pentingnya dialog antara teori dan praktik dalam menghadapi situasi krisis agraria dan kesejahteraan petani di Indonesia. Ia juga menegaskan bahwa pengabdian masyarakat, terutama dalam konteks perguruan tinggi, harus melampaui ruang kelas.
“Kita tidak sekadar hadir membagi ilmu. Kita juga hadir untuk belajar. Ilmu sosial mengajarkan kita untuk melihat siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dalam kebijakan. Petani harus punya ruang untuk bicara, bukan hanya mendengar.”
Selanjutnya, Hartika, M.I.P., dosen HI yang memiliki pengalaman dalam penelitian terkait dengan kemiskinan struktural dan lingkungan, memaparkan sejarah panjang kebijakan pertanian. Dari masa kerajaan hingga reformasi, politik pangan selalu berada dalam pertarungan kekuasaan. Pada masa Orde Baru, misalnya, kebijakan Revolusi Hijau meningkatkan produksi, tetapi juga memperkenalkan praktik pertanian intensif berbasis pupuk dan pestisida kimia, meninggalkan warisan ketergantungan modal dan kerusakan lingkungan.
“Hari ini kita bicara kedaulatan pangan, tapi kenapa impor beras masih terus dilakukan? Kenapa petani masih sulit menjual hasil taninya? Itu karena kebijakan kita lebih mendengar korporasi ketimbang petani. Di sini peran akademisi penting untuk mengerjakan kritik dengan data dan berbicara bersama petani, bukan untuk mereka,” jelas Hartika.

Pemanfaatan Media untuk Kampanye Agroekologi Sebagai Ruang Publik Suara Petani
Selain membahas kebijakan politik pertanian, Fullah Jumaynah, M.I.P selaku dosen Ilmu Politik UPNVJ menambahkan pemaparan pentingnya strategi komunikasi politik dijalankan oleh petani. Krisis kesejahteraan dan krisis representasi petani, padahal memiliki peranan penting dalam produksi pangan dan kesejahteraan, menjadi salah satu tantangan petani. Menurutnya, pertanian hari ini tak lagi cukup dipahami sebagai isu teknis bagaimana cara menanam, tetapi juga perlu memiliki strategi dalam komunikasi politik.
“Petani identik dengan kegiatan di desa dan di ladang, namun sejatinya perlu ruang publik. Hari ini, narasi media menjadi ruang publik yang diperebutkan. Sehingga, petani harus punya narasi di media. Agar masyarakat tahu bahwa sayur yang mereka makan lahir dari perjuangan, bukan sekadar proses produksi,” tutur Fullah.
Dia kemudian mendorong agroekologi sistem pertanian unggulan dari serikat petani Bogor yang merupakan sistem alternatif pertanian modern yang ramah lingkungan dan berkelanjutan diperkenalkan lebih luas melalui media.
Suara dari Ladang: Ketimpangan Lahan dan Lemahnya Representasi
Pada sesi diskusi, para petani menyampaikan keluhan dan harapan mereka dengan lantang dan terbuka dengan harapan akademisi dapat memberikan peran bagi jalan tengan masalah kebijakan pertanian. Masalah yang muncul berulang dari pertanian di Indonesia adalah ketimpangan akses terhadap lahan, lemahnya pasar hasil tani yang dikuasai tengkulak, serta program pemerintah yang besar dalam konsep tapi tidak tersentuh ke petani di lapangan.
Fandi, Ketua Cabang SPI Bogor, menyuarakan kritik tajam mengenai program-program pertanian nasional yang ia nilai tidak melibatkan petani secara substantif.
“Kebijakan pertanian sering hanya mengandalkan data, bukan suara. Akhirnya program disusun di kota, tapi problem ada di desa. Hubungan industrialisasi dan kebun itu tidak pernah dijembatani,” ujarnya.
Mengorganisir: Dari Lahan ke Kebijakan
Meski dalam waktu yang singkat, namun kegiatan ini ditutup dengan kesepakatan untuk keberlanjutan. Kedepannya, akan diupayakan antara akademisi UPNVJ dan SPI Bogor membangun kolaborasi jangka panjang. Kolaborasi tersebut dapat mencakup pendampingan advokasi, penelitian berbasis komunitas, dan produksi bersama pengetahuan untuk mengubah posisi petani dalam struktur kebijakan.
Sebagai akademisi di lingkungan FISIP, yang dalam kesehariannya mengeskplorasi ruang pendidikan sosial dan politik, pengabdian masyarakat yang dilakukan 7 dosen muda ini menunjukan bahwa kampus dapat menjadi ruang pendidikan politik yang lebih luas. Petani tidak hanya menjadi ruang intervensi bagi fakultas atau Universitas dengan branding pertanian, melainkan juga ruang bagi akademisi dan praktisi sosial dan politik. Kerja-kerja kecil seperti ini — reflektif, dialogis, dan berbasis komunitas — bisa menjadi jembatan antara universitas dan dorongan kebijakan melalui gerakan sosial.
Karena pada akhirnya, seperti yang dikatakan Afgan, tugas pendidikan bukanlah untuk mencetak profesional semata, tetapi untuk mengorganisir pengetahuan, agar bisa mengorganisir perjuangan.

