Bersuara

Tembok Trump, Shutdown, dan Krisis Demokrasi

Presiden Donald Trump memperlihatkan paket RUU yang baru ia tandatangani untuk membuka kembali pemerintahan federal, di Kantor Oval, Gedung Putih, Washington, DC, pada 12 November 2025.

Oleh: Winda Eka Pahla A. (Dosen HI UPN Veteran Jakarta)

TERITORIAL.COM, JAKARTA – Fenomena shutdown pemerintahan Amerika Serikat sepanjang 43 hari pada masa Presiden Donald Trump bukan sekadar masalah politik anggaran, tetapi juga mencerminkan krisis legitimasi dan kegagalan komunikasi di jantung demokrasi modern. Shutdown ini menjadi simbol dari ketegangan antara kebutuhan kompromi dalam politik dan logika konfrontatif dari populisme yang sering kali mengedepankan simbolisme politik di atas rasionalitas kebijakan. Situasi tersebut tidak hanya melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang daya tahan demokrasi Amerika Serikat sebagai model global tata kelola demokratis. Dalam studi Fishkin (2018) di Yale Law Journal, misalnya, polarisasi ekstrem disebut berpotensi mengikis prinsip deliberatif yang menjadi fondasi demokrasi modern.

Shutdown sepanjang 2018–2019 itu juga menunjukkan bagaimana politik domestik AS, yang selama ini dikenal stabil dan institusional, dapat berubah menjadi arena tarik-menarik kekuasaan yang destruktif ketika kepentingan partisan mengatasi kepentingan publik. Dalam skala global, krisis tersebut mengirimkan sinyal bahwa bahkan negara demokrasi tertua pun tidak kebal terhadap erosi kepercayaan publik dan polarisasi politik ekstrem.

Pengertian Government Shutdown dan Konteksnya

Government shutdown terjadi ketika Kongres Amerika Serikat gagal menyetujui rancangan undang-undang anggaran tahunan sebelum tenggat waktu yang ditentukan, menyebabkan penghentian sebagian besar layanan pemerintah federal. Dalam sistem pemerintahan AS, kekuasaan fiskal memang dipegang oleh Kongres, sementara eksekutif bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Ketika kedua lembaga ini gagal menyepakati prioritas pembiayaan, sebagian besar lembaga federal harus menangguhkan operasinya, kecuali yang terkait dengan layanan esensial seperti pertahanan, keamanan publik, dan layanan darurat.

Shutdown terpanjang dalam sejarah ini mengakibatkan lebih dari 800.000 pegawai federal dirumahkan atau bekerja tanpa gaji. Dampaknya terasa hingga ke berbagai lini kehidupan: bandara mengalami keterlambatan layanan keamanan, taman nasional ditutup, dan bantuan sosial tertunda. Fenomena ini menggambarkan betapa krusialnya konsensus politik dalam menjaga keberlangsungan tata kelola negara.

Polarisasi Politik sebagai Penyebab Utama Shutdown

Polarisasi politik yang semakin tajam menjadi akar utama terjadinya kebuntuan anggaran ini. Partai Republik menolak menyetujui anggaran tanpa pendanaan untuk pembangunan tembok perbatasan AS–Meksiko, sementara Partai Demokrat menolak keras permintaan tersebut. Kebuntuan ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan gambaran kedalaman fragmentasi ideologis yang menandai politik Amerika modern.

Dalam perspektif teori demokrasi deliberatif Jurgen Habermas, krisis ini menunjukkan kegagalan ruang publik dalam menghasilkan keputusan yang rasional dan inklusif. Dialog digantikan dengan retorika konfrontatif. Temuan ini sejalan dengan penelitian McCoy & Somer (2019) dalam Journal of Democracy, yang menekankan bahwa polarisasi tajam dapat memicu “perang identitas” yang merusak kapasitas negara untuk mencapai kompromi.

Polarisasi ekstrem ini juga memperburuk persepsi publik terhadap institusi demokrasi dan mempercepat munculnya sikap apatis terhadap politik.

Dampak Sosial dan Ekonomi yang Meluas

Shutdown ini menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Ratusan ribu pegawai federal tidak menerima gaji, menyebabkan tekanan finansial pada rumah tangga kelas menengah. Sektor pariwisata dan bisnis lokal di sekitar taman nasional dan bandara mengalami kerugian besar.

Dari sudut ekonomi makro, penundaan ekspor, terganggunya sistem perizinan, dan tertundanya laporan penting membuat investor global kehilangan kepastian. IMF mencatat bahwa shutdown tersebut berkontribusi pada menurunnya kepercayaan pasar global terhadap stabilitas ekonomi AS. Hal ini sejalan dengan analisis Baker (2019) dalam American Economic Review Papers & Proceedings, yang menunjukkan bahwa ketidakpastian kebijakan (policy uncertainty) memiliki korelasi kuat dengan perlambatan aktivitas bisnis dan investasi.

Implikasi bagi Tata Kelola dan Budaya Politik

Krisis ini menjadi cermin bagi kebutuhan reformasi tata kelola politik Amerika. Kegagalan legislatif dan eksekutif dalam mencari titik temu menunjukkan adanya krisis komunikasi politik dan penurunan kapasitas institusional. Checks and balances justru berubah menjadi alat penyanderaan kebijakan publik.

Untuk mencegah krisis serupa, diperlukan mekanisme legislasi yang lebih adaptif, inklusif, dan berorientasi pada kepentingan warga. Penguatan lembaga independen, pendidikan politik deliberatif, dan reformasi komunikasi politik menjadi penting untuk menjaga daya tahan demokrasi dalam menghadapi konflik ekstrem.

Shutdown sebagai Peringatan Global untuk Demokrasi

Shutdown pemerintahan Trump menyampaikan pesan moral bagi dunia bahwa demokrasi tidak hanya tentang pemilihan umum yang bebas, tetapi juga tentang kemampuan aktor politik untuk bernegosiasi demi kesejahteraan rakyat. Krisis seperti ini dapat terjadi di negara mana pun ketika komunikasi politik gagal dan kepentingan kekuasaan mengalahkan rasionalitas kebijakan.

Bagi demokrasi yang sedang bertumbuh, pengalaman AS ini menjadi pengingat bahwa polarisasi dan populisme dapat melemahkan fondasi demokrasi konstitusional. Demokrasi sejati harus ditopang oleh dialog terbuka, empati sosial, serta komitmen kolektif terhadap kepentingan umum.

Kayla Dikta Alifia

About Author

You may also like

Bersuara

Cyber Army dan Cyber Militia

Terdapat beberapa kejadian di dunia maya yang dianggap oleh beberapa pihak sebagai suatu “perang siber”. Salah satu contoh yang menarik
Bersuara

Laut Cina Selatan Masa Depan Geostrategi Tiongkok

Disamping letaknya yang sangat strategis bagi jalur pelayaran Internasional, kekayaan akan sumber daya alam berupa kandungan minyak dan gas alam