TERITORIAL.COM, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan rehabilitasi kepada tiga terdakwa di kasus dugaan korupsi terkait kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh ASDP periode 2019–2022.
Tiga nama itu adalah mantan Direktur Utama ASDP, Ira Puspadewi; mantan Direktur Komersial dan Pelayanan, Muhammad Yusuf Hadi; serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan, Harry Muhammad Adhi Caksono.
Keputusan itu disampaikan lewat konferensi pers di Istana Kepresidenan, Selasa (25/11/2025), oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Menurut Dasco, rehabilitasi diberikan menyusul banyaknya aspirasi masyarakat yang masuk ke DPR, dan setelah dilakukan kajian oleh Komisi Hukum bersama pemerintah.
“Alhamdulillah, pada hari ini Presiden telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga nama tersebut,” ujarnya.
Latar Belakang Kasus
Kasus ini bermula dari dugaan korupsi dalam proses KSU dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP pada periode 2019–2022. Lembaga penegak hukum menyebut kerugian negara yang timbul dari transaksi ini mencapai sekitar Rp 1,25 triliun.
Penyidikan dimulai pada 11 Juli 2024 dan dalam Surat Keputusan (SK) pimpinan ditetapkan beberapa tersangka termasuk ketiga eks direksi tersebut.
Pada 20 November 2025, pengadilan di Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis terhadap mereka.
Ira Puspadewi dihukum 4 tahun 6 bulan penjara dan dua eks direksi lain masing-masing 4 tahun penjara serta denda.
Hukuman ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa, yakni 8 tahun 6 bulan hingga 8 tahun penjara.
Majelis hakim menyatakan bahwa tidak ada bukti mereka menerima keuntungan pribadi, kerugian dianggap muncul dari kelalaian manajerial.
Kenapa Rehabilitasi? Begini Kata Pemerintah & DPR
Pemberian rehabilitasi oleh Presiden dilakukan atas dasar hak yang memungkinkan seseorang mendapatkan “pemulihan hak, kedudukan, harkat dan martabatnya” jika proses penahanan, penuntutan, atau pengadilan dianggap keliru, baik secara orang maupun hukum.
Menurut Mensesneg Prasetyo Hadi, keputusan ini diambil setelah banyak aspirasi dari masyarakat dan DPR, yang kemudian diteruskan ke Kementerian Hukum untuk ditelaah.
DPR menyebut rehabilitasi sebagai wujud pemulihan terhadap reputasi para terdakwa, bukan pembenaran atas keputusan bisnis atau manajerial ASDP.
Reaksi dari KPK & Status Hukum Kasus
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan menghormati keputusan Presiden. Namun demikian, mereka tetap menekankan bahwa rehabilitasi bersifat administratif/hukum dan berbeda dengan proses hukum. Proses penegakan hukum, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, telah berjalan sesuai prosedur hukum.
KPK juga menegaskan bahwa rehabilitasi terhadap tiga eks direksi itu bukan hal buruk karena status hukum perkara mereka telah selesai di pengadilan dan rehabilitasi tidak lagi menyentuh ranah penyidikan atau penuntutan.
Sementara itu, penyidikan terhadap tersangka lain dalam kasus tersebut, yakni eks pemilik PT Jembatan Nusantara, inisial “Adjie” masih terus berjalan. Penanganan terhadap pihak lain tidak terpengaruh oleh keputusan rehabilitasi.
Rehabilitasi berarti nama dan hak para bekas direksi itu dipulihkan secara resmi, meliputi reputasi, harkat, dan kedudukan dianggap kembali.
Tapi dari sisi hukum, kasus korupsi tetap dicatat dan proses terhadap tersangka lain tetap berlanjut. Rehabilitasi tidak menghentikan seluruh penyidikan.
Keputusan ini memunculkan debat tentang batas antara pemulihan reputasi dan konsekuensi hukum terhadap dugaan korupsi.
Bagi publik, kasus ini menjadi gambaran kompleksitas hukum, politik, dan aspirasi masyarakat dalam perkara korporasi dan BUMN.

