TERITORIAL.COM, JAKARTA – Institut Teknologi Bandung (ITB) kembali mencatat prestasi membanggakan. Prasanti Widyasih Sarli, S.T., M.T., Ph.D., atau yang biasa dipanggil Asih, seorang dosen di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL), pada kelompok keahlian Rekayasa Struktur, berhasil masuk daftar Asian Scientist 100 pada tahun 2025.
Asih menamatkan studi sarjana Teknik Sipil di ITB pada 2010, kemudian menyelesaikan S2 pada bidang yang sama di ITB pada 2012.
Selanjutnya, ia meraih gelar Ph.D. dari University of Tokyo, Jepang, di bidang Materials Science and Engineering tiga tahun sesudahnya.
Sejak 2017, Asih meniti karier akademik kembali di kampus almamaternya, ITB.
Lebih dari sekadar dosen dan peneliti, Asih juga aktif menulis di luar ranah teknis.
Ia telah meluncurkan buku-buku berisi refleksi pribadi, salah satunya berjudul “Menjadi Dewasa”. Buku ini berisi kumpulan esai pendek tentang kehidupan, proses menjadi dewasa, dan refleksi diri.
Prestasi dan Penghargaan dari Lokal sampai Internasional
Pada November 2024, Asih dianugerahi penghargaan L’Oréal–UNESCO For Women in Science (FWIS) di kategori Non-Life Science.
Kemenangannya di FWIS kemudian semakin menerbangkan namanya ke dalam daftar Asian Scientist Magazine: “Asian Scientist 100” 2025, sebuah penghargaan bergengsi di kawasan Asia–Pasifik bagi ilmuwan, peneliti, inovator, dan pemimpin bisnis berprestasi.
Penghargaan ii membuatnya menjadi wakil Indonesia sekaligus inspirasi bagi perempuan peneliti di bidang STEM.
Asih menilai masuknya ia ke daftar Asian Scientist 100 tidak lepas dari dampak besar yang diberikan oleh ajang L’Oréal–UNESCO For Women in Science terhadap visibilitas para penerimanya.
Dalam unggahannya di Instagram @asihsimanis pada 23 November 2025, ia menuliskan, “Mereka luar biasa dalam memperjuangkan visibilitas pemenangnya. Pada akhirnya, memang itu salah satu tujuan penghargaan, yakni membantu menyorot seseorang.”
Fokus Riset dan Dampaknya bagi Bangsa
Asih bersama timnya mengusung proyek riset berjudul “Resilience for All: Indonesian Large Scale Housing Assessment”.
Melalui riset ini, mereka mengembangkan teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) yang dapat memperkirakan kerentanan struktur gedung, terutama bangunan perkotaan, hanya dengan menggunakan foto.
Tujuan utamanya adalah untuk membantu pemerintah dan pemangku kebijakan merancang bangunan yang tahan gempa, memetakan area risiko secara cepat dan efisien, bahkan hanya dengan foto, misalnya dari Google Street View.
Metode ini sangat relevan di Indonesia, negara yang berada di jalur “Ring of Fire” dan rentan gempa.
Seperti kutipan yang berbunyi “gempa bumi tidak membunuh orang, tetapi bangunan yang rusak dapat melakukannya.” Riset Asih menjadi kontribusi nyata untuk mitigasi bencana dan keselamatan masyarakat.
Motivasi, Harapan, dan Pesan Asih untuk Generasi Muda
Dalam wawancaranya setelah berhasil meraih penghargaan, Asih mengungkapkan perasaan tak percaya saat pertama kali lolos ke tahap final.
“Alhamdulillah, tak disangka saya menang pada tahapan tersebut,” ujar Asih, dikutip dari itb.ac.id.
Ia bercerita bahwa mendaftar ke ajang FWIS awalnya atas anjuran seorang senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang pernah melihat presentasi penelitiannya.
“Saya akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar,” ungkap Asih.
Asih mengatakan, penghargaan ini bukanlah puncak dari segalanya, melainkan batu loncatan kecil untuk cita-cita lebih besar.
“Pada akhirnya, penghargaan ini hanyalah sebuah stepping stone kecil menuju impian sesungguhnya, yaitu menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi tanah air dan juga dunia, sekecil apapun itu,” jelas Asih.
Lewat karyanya, ia ingin mendorong perempuan lain di bidang sains dan teknik untuk terus percaya diri, berkarya, dan menunjukkan bahwa wanita juga bisa menjadi bagian penting dari kemajuan sains dan teknologi.
“Jadi, buat perempuan-perempuan ilmuwan yang ambisius dan ingin membuka lebih banyak pintu peluang. Cobalah berkompetisi untuk L’Oréal–UNESCO For Women in Science. Dari pengalaman saya, pintu yang dibuka sangat banyak,” tutup Asih.

