TERITORIAL.COM, JAKARTA – Dalam rapat kabinet yang digelar pada Selasa (2/12/2025) waktu Amerika Serikat, Presiden Donald Trump melontarkan kritik keras terhadap imigran asal Somalia. Ia mengaku tidak ingin lagi melihat warga Somalia tinggal di AS.
Dilansir Associated Press, Trump menuduh imigran Somalia terlalu bergantung pada “jaringan pengaman sosial” (social safety net) Amerika dan hanya sedikit, bahkan nyaris tidak ada sama sekali memberikan kontribusi ke masyarakat.
“Mereka tidak berkontribusi apa pun. Saya tidak ingin mereka di negara kita,” ucap Trump dalam pertemuan tersebut.
Komentar keras ini muncul di tengah kebijakan yang baru saja diumumkan, yaitu menghentikan sebagian besar keputusan suaka imigran sebagai respons atas insiden penembakan dua tentara Garda Nasional di Washington, yang pelakunya warga asal Afghanistan.
Trump kemudian memperluas tekanan ke imigran dari beberapa negara, termasuk Somalia.
“Negara mereka tidak baik karena suatu alasan. Negara Anda buruk dan kita tidak ingin mereka di negara kita,” ujar Trump.
Pemutusan Perlindungan Imigran Somalia
Sebelumnya, warga Somalia di AS khususnya di negara bagian Minnesota menikmati perlindungan melalui program Temporary Protected Status (TPS), sejak ditetapkan pada 1991 saat situasi di Somalia memburuk akibat perang sipil.
Namun pada 21 November 2025, Trump menyatakan bahwa pemerintahannya segera mengakhiri perlindungan tersebut bagi imigran Somalia di Minnesota.
Dalam unggahannya di media sosial, Trump menuduh adanya aktivitas pencucian uang massal serta geng kriminal dari komunitas Somalia.
“Kirim mereka kembali ke tempat asal mereka. Ini SUDAH BERAKHIR!” tulisnya.
Dalam pertemuan kabinet tersebut, Trump juga menyinggung Ilhan Omar, anggota Kongres dari Partai Demokrat yang mewakili Minnesota dan berasal dari keturunan Somalia.
Trump menyebut, “Ilhan Omar itu sampah. Teman-temannya juga sampah.” Ia lalu menambahkan, “Suruh mereka kembali ke tempat asal mereka dan benahi negara itu.”
Menurut data dari DPR AS, jumlah orang Somalia yang tercatat mendapat TPS cukup kecil, hanya sekitar 705 orang di seluruh negeri, meskipun komunitas Somalia di Minnesota termasuk yang terbesar di AS.
Meski demikian, keputusan ini menimbulkan kekhawatiran serius. Pemimpin komunitas dan advokat imigrasi menilai keputusan seperti ini bisa memecah keluarga dan merusak kehidupan mereka yang selama puluhan tahun sudah menetap, bekerja, dan berkontribusi di masyarakat.
Kritik dan Kekhawatiran
Banyak pihak mengecam langkah Trump, terutama karena dianggap sebagai tindakan diskriminatif terhadap komunitas Muslim dan keturunan Somalia.
Dikutip dari The Guardian, seorang aktivis komunitas di Minnesota menyampaikan bahwa jika individu melakukan pelanggaran hukum, maka harus diadili, tapi hukuman kolektif terhadap seluruh komunitas berdasarkan asal negara atau agama adalah salah dan tidak adil.
Pengacara imigrasi setempat bahkan mengingatkan bahwa proses hukum untuk mencabut TPS tidaklah sesederhana pernyataan presiden, perlindungan ini diatur oleh hukum dan harus melalui prosedur resmi, bukan keputusan spontan.
Komunitas Somali di Minnesota disebut telah lama menjadi bagian dari masyarakat. Mereka bekerja, membayar pajak, membesarkan anak, dan berkontribusi sosial. Banyak dari mereka bahkan sudah menjadi warga negara AS.
Bagi mereka, keputusan ini bukan hanya persoalan status imigrasi, tapi menyangkut identitas, hak hidup, dan masa depan keluarga.
Dampak Politik dan Sosial
Kasus ini mendapat sorotan luas tidak hanya di AS tapi juga di dunia internasional, karena menyentuh isu hak asasi manusia, imigrasi, toleransi, dan diskriminasi.
Keputusan untuk mencabut TPS dan retorika anti-imigran seperti ini dianggap sebagai bagian dari kebijakan keras terhadap imigran dan pengungsi oleh pemerintahan Trump.
Di Minnesota, komunitas Somali merasa terancam, tidak hanya secara hukum, tapi juga secara psikologis dan sosial. Kekhawatiran akan detensi, deportasi, dan pemisahan keluarga membuat banyak orang panik.
Sementara itu, para pemimpin komunitas serta pengacara imigrasi memperingatkan bahwa tindakan atas dasar kebencian yang bukan bukti konkret berpotensi membuka pintu bagi diskriminasi luas terhadap kelompok minoritas, serta merusak prinsip keadilan dan HAM.

