Jakarta, Teritorial.com – Oleh: Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah/Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam sepekan terakhir, beredar video seorang perempuan bercadar dipaksa turun dari angkutan umum. Video tersebut viral di media sosial. Jika video tersebut benar adanya, bukan rekayasa, sungguh kehidupan kebangsaan kita sudah mulai bermasalah. Memang tidak ada penjelasan pasti mengapa sang wanita bercadar diperlakukan tidak adil. Dugaan kuat karena dia dianggap teroris. Penjelasan ini mungkin saja spekulatif.
Tetapi, dugaan perlakuan tidak adil yang sudah menjurus kekerasan itu terjadi karena persepsi negatif tentang wanita bercadar, mungkin saja benar. Apalagi, apabila dikaitkan dengan bagaimana cara Densus 88 menangani terorisme dan bagaimana media mewartakan pelaku terorisme.
Selama ini, pemberitaan media massa tentang terorisme selalu menggunakan narasi yang sama. Seperti sebuah skenario atau script sebuah pertunjukan. Seseorang atau sekelompok orang yang disebut teroris digerebek, ditangkap, atau dieksekusi oleh Densus 88 yang bersenjata lengkap. Tempatnya berbeda-beda.
Di tempat kejadian perkara (TKP), Densus menemukan bahan dan rakitan bom atau bom yang sudah siap diledakkan. Densus juga menemukan buku-buku jihad dan bendera atau atribut organisasi teroris nasional atau internasional.
Densus kemudian menjelaskan nama lengkap, jarang sekali dengan inisial, beserta foto atau wajah. Tidak hanya itu, wajah keluarga, biasanya istri, juga ditampilkan. Dari semua kasus, mayoritas laki-laki berjenggot panjang dan dahi hitam. Yang wanita bercadar dan gamis yang serbahitam.
Narasi dan tayangan terorisme yang terus berulang-ulang bisa memengaruhi dan membentuk persepsi dan opini publik. Bahkan, bisa menjadi public knowledge yang mengarah kepada sikap negatif terhadap sesuatu.
Pertama, penayangan terorisme yang terus berulang bisa menimbulkan global fear atau ketakutan massa. Alih-alih menimbulkan ketenangan, “keberhasilan” Densus menangkap teroris justru menimbulkan opini bahwa negara sedang dalam ancaman dan tidak ada lagi tempat yang aman. Ini sungguh sangat merugikan dari sisi ekonomi, politik, dan sosial.
Kedua, menimbulkan pemahaman yang keliru tentang terorisme. Narasi polisi membentuk opini bahwa akar dan pelaku terorisme adalah Islam dan Muslim. Dalam realitasnya, terorisme memiliki akar yang sangat berbeda-beda. Akar terorisme adalah ketidakadilan, diskriminasi, dan ekskursif atas keyakinan, identitas, politik, ekonomi, atau kebudayaan. Terorisme tidak hanya dilakukan oleh Muslim atau orang yang beragama, tetapi juga oleh mereka yang tidak beragama.
Sebagian melakukan aksi terorisme semata-mata karena membalas dendam atas perlakuan Densus yang represif. Ketiga, menimbulkan prejudice dan stereotype terhadap wanita bercadar dan laki-laki berjenggot. Prejudice adalah sikap yang cenderung negatif terhadap seseorang atau kelompok tanpa dasar informasi yang kuat.
Prejudice ini bisa menimbulkan stereotype atau stigma negatif dan perilaku yang tidak menyenangkan (Reber, 1987). Akibat lanjut dari prejudice dan stereotype dapat berupa rasisme, xenofobia, Islamofobia, dan perilaku negatif lainnya. Narasi terorisme yang selama ini dilakukan polisi justru bisa kontraproduktif. Friksi antarkelompok mulai terjadi. Yang lebih serius lagi, pemberantasan terorisme yang mengedepankan pendekatan militeristik bisa dimaknai keliru: berperang melawan Islam.
Hampir tidak pernah ada narasi non-Muslim sebagai teroris. Publik bisa juga menilai polisi tidak adil. Perlawanan kepada polisi dilakukan sebagai bentuk membalas dendam.
Perubahan strategi
Terorisme merupakan masalah bersama. Karena itu, tidak seharusnya polisi bekerja sendiri. Perlu keterlibatan berbagai pihak, termasuk masyarakat. Pemberantasan terorisme tidak boleh dilakukan dengan cara-cara teror dan menimbulkan terorisme baru. Peliputan langsung aksi pemberantasan terorisme oleh media tidak kalah sadisnya dengan film action. Karena itu, tidak seharusnya aksi penyerangan, baik oleh polisi maupun teroris terus-menerus ditayangkan.
Polisi bisa memberikan informasi terorisme ke media melalui konferensi pers, dengan data-data yang akurat. Walaupun sudah cukup informasi, Pemerintah Inggris dan Jerman tidak langsung menjelaskan aksi terorisme. Informasi yang simpang siur apalagi salah dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap profesionalisme dan kinerja polisi. Dalam kasus bom Surabaya, polisi sempat menyebut pelaku pergi ke Suriah. Belakangan polisi meralat bahwa yang ke Suriah adalah guru pelaku.
Langkah lainnya adalah bermitra dengan masyarakat. Polisi dan intelijen memiliki data mereka yang masuk daftar pencarian orang atau mereka yang terindikasi kuat terpapar radikalisme. Misalnya, beberapa waktu lalu, BIN menyebut 39 persen mahasiswa terpapar radikalisme. Seharusnya, polisi dan BIN bisa berkomunikasi dengan pimpinan perguruan tinggi atau pimpinan ormas tentang data mereka.
Berbekal data tersebut, pimpinan perguruan tinggi dan ormas bisa melakukan pembinaan dan mentoring ideologis: politik dan keagamaan. Model kerja sama ini bisa menjadi alternatif mengurangi atau mencegah terorisme.
Pendekatan militeristik termasuk dengan pelibatan TNI tidak akan efektif dan mencegah terorisme. Polisi perlu mengeksplorasi berbagai model dan pendekatan agar pemberantasan terorisme tidak menjadi ritual tahunan. Sesungguhnya, masyarakat sudah lelah dan jenuh dengan narasi terorisme. Ada gejala masyarakat mulai apatis dan menilai terorisme sebagai “bisnis” aparatur keamanan.
Gejala apatisme, prejudice, dan stereotype tidak boleh dianggap sepele karena berpotensi memecah belah bangsa. Pemberantasan terorisme harus menumbuhkan kepercayaan dan rasa aman bagi masyarakat, bukan ketakutan akibat narasi kekerasan.