Jakarta, Teritorial.com – Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2019-2020 oleh Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB di New York (08/06/2018). Ini adalah keempat kalinya Indonesia berada di kursi DK PBB. Sebelumnya Indonesia menjadi anggota Tidak Tetap DK PBB pada periode 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008. Dalam proses pemilihan tersebut, Indonesia memperoleh 144 suara dari jumlah keseluruhan 190 anggota PBB yang hadir.
Perlu diingat bahwa DK PBB adalah badan utama PBB yang memiliki peran dan tugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Untuk masuk menjadi anggota DK PBB Indonesia sudah melakukan kampanye sejak 2016, yang dinyatakan Kementerian Luar Negeri “sejalan dengan prioritas politik luar negeri Indonesia untuk meningkatkan peran Indonesia di tingkat kawasan dan global di bawah Pemerintahan Jokowi.” ujar Menlu Retno Marsudi dalam keterangan pers kepada awak media.
Menjadi anggota tidak tetap DK PBB, menunjukkan bahwa diplomasi Indonesia untuk menduduki posisi strategis dunia sejauh ini berhasil. DK PBB ada negara-negara, 144 negara, yang percaya bahwa kita bisa (membangun jembatan perdamaian dan memajukan perdamaian dunia melalui cara-cara yang diplomatis). Hal ini berdampak kepada meningkatnya kepercayaan diri dan kebanggaan Indonesia di dunia internasional.
Berada di forum startegis secara otomatis Indonesia bisa melakukan diplomasi dengan lebih praktis, lebih efektif. Sudah menjadi konsekuensi logis jika hal tersebut pada akhirnya berdampak pada tingkat kepercayaan diri dan kebanggaan Indonesia di dunia internasional.
Kepentingan yang Ditawarkan Indonesia
Jika pada periode sebelumnya fokus Indonesia hanya terbatas pada upaya peningkatan jumlah personil Kontingen Garuda yang diterjunkan dalam misi operasi keamanan di PBB, kini dengan melihat potensi ancaman yang ada akan mengusung isu terorisme, radikalisme dan eksterimisme dalam pertemuan-pertemuan DK PBB mendatang. Disinilah salah satu letak bagaimana melalui PBB Indonesia mulai melakukan penekanan terhadap isu keamanan non-tradisional dengan menyasar pada aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan pencegahan serta penanganan hingga penangkapan kasus terduga teroris.
Mengutip ucapan Menlu Retno Marsudi “Global partnership yang kuat dalam menciptakan perdamaian, keamanan dan stabilitas akan berkontribusi pencapaian agenda pembangunan PBB 2030. Caranya, menurut Wirya adalah dengan “berusaha memajukan perspektif-perspektif negara berkembang, tidak hanya negara-negara maju.” Para Menlu dan Dubes untuk PBB dari Indonesia, Jerman, Belgia, Republik Dominika dan Afrika Selatan.
Politik Bebas Aktif Indonesia Mewakili suara negara-negara Muslim?
Politik luar negeri Indonesia selama ini sudah aktif berdiplomasi mewakili suara Muslim, seperti membela etnis Islam Rohingya di Myanmar yang mayoritas Buddha dan menolak pemindahan ibu kota Israel ke Yerusalem sebagai bentuk solidaritas ke negara mayoritas Islam, Palestina. Dengan berkaca pada agenda politis, Keanggotaan Indonesia dalam DK PBB bukan semata-mata sebatas untuk mewakili suara negara Muslim, namun lebih mengarah pada forum yang lebih global.
Indonesia tidak memiliki keberpihakan khusus kepada negara-negara tertentu. Yang kita miliki keberpihakannya adalah untuk memperkuat tata kelola pemerintahan global, sebisa mungkin memperbaiki sistem PBB, memajukan perdamaian dunia. Hal-hal itulah yang dibawa Indonesia. Indonesia berusaha selalu lakukan adalah membangun jembatan, (bahwa) kontestasi geopolitik tidak akan menghalangi diplomasinya dalam usaha membangun perdamaian.
Posisi Indonesia di DK PBB akan merepresentasikan dunia Islam moderat dan negara-negara Asia Tenggara. Bagi Indonesia bila mampu memperjuangkan isu-isu terkait dunia Islam khususnya yang noderat maka akan jadi keuntungan luar biasa bagi Indonesia secara domestik, regional dan global. Yang pasti, Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa isu Palestina akan menjadi perhatian Indonesia selama menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Bukan merupakan negara Islam, namun mayoritas sebagai negara berpenduduk beragama Muslim Indonesia kerap kali menjadi salah satu tolak ukur bagi penilaian dunia tarhadap Islam. Terhitung sejak gejolak Arab Spring yang berlangsung mulai tahun 2010 lalu, bisa dikatakan kondisi geopolitik Timur Tengah hingga saat ini jauh dari kata stabil. Perang sipil hingga kemunculan embrio terorisme hingga beraktualisasi menjadi apa yang disebut sebagai sebuah negara terlarang (ISIS) tentunya menjadi masa depan tantangan diplomasi Indonesia.
Kerap kali turut menjadi sasaran aksi teror nampaknya membuat Indonesia terus berfikir ulang tentang bagaimana memebentuk penyelesaian yang konkret terhadap isu global tersebut. Penyebutan Islam, Negara Islam, Khilafah, ISIS, radikalisme, hingga berujung pada terorisme membutuhkan kehati-hatian dalam menentukan cara tentang bagaimana membungkus isu-isu tersebut ke dalam sebuah kebijakan yang terintegrasi.
Peran strategis diplomasi Indonesia dibuktikan ketika mampu mengakomodir pertarungan kepentingan setiap great power yang memiliki andil besar dalam penciptaan isntabilitas keamanan kawasan di TImur Tengah. Bukan tanpa sebab bahwa kehadiran negara-negara seperti Cina, Rusia, AS dan sekutu baratnya turut menjadi penyumbang terbesar bagi hambatan rekonsiliasi damai sebagai pemecahan yang komperhansif. Solusi Pasukan Perdamaian PBB bukan berarti tidak penting, secara “fisik” kehadiran pasukan PBB dibutuhkan, namun keberadaan Indonesia dalam DK PBB mau tidak mau harus menjadi pelita dalam kebuntuan konflik kepentingan yang hingga saat ini menyeret pada pada situasi keamanan Timur Tengah yang tidak menentu.
Selain Indonesia, negara-negara lain yang juga terpilih menjadi anggota DK PBB periode 2019-2020 adalah: Jerman dan Belgia (mewakili kelompok Eropa Barat); Republik Dominika (Amerika Latin dan Karibia); dan Afrika Selatan (Afrika). Kelimanya akan bergabung dengan 5 negara anggota tetap DK PBB (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Cina dan Rusia) serta 5 negara anggota tidak tetap lainnya (Pantai Gading, Guinea Ekuatorial, Kuwait, Peru dan Polandia).
Penulis: Sony Iriawan Pemerhati Studi Geopolitik dan Keamanan Internasional