Jakarta, Teritorial.Com – Semakin meningkatnya tindakan terorisme di Indonesia membuat upaya memeranginya, selain menggunakan cara-cara represif, juga harus menggunakan cara-cara non-represif (deradikalisasi). Pendidikan perdamaian berupaya mengembangkan pengetahuan, kompetensi, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang bertujuan untuk mengubah sikap, sifat, dan pola pikir seseorang yang menciptakan atau meningkatkan kekerasan (Castro & Galace, 2010).
Pendidikan perdamaian adalah sebuah konsep pendidikan yang dapat digunakan untuk memerangi terorisme dengan cara-cara non-represif, di mana konsep-konsep di dalamnya dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pengajaran program deradikalisasi
Integrasi dengan Program Deradikalisasi
Pendidikan perdamaian adalah proses pembentukan ketrampilan (skill) untuk menyelesaikan sebuah konflik dan hidup dalam harmoni dengan diri sendiri dan orang lain. Pendidikan perdamaian juga mencari cara-cara untuk menciptakan masa depan yang adil dan berkelanjutan (sustainable).
Untuk itu, pendidikan perdamaian akan lebih efektif dan bermanfaat bagi para pelaku tindakan terorisme yang sekarang sedang menjalani program deradikalisasi, karena akan melibatkan partisipasi dari para napi teroris untuk mengekspresikan pemikiran mereka dan bekerja sama antar sesama mereka untuk menghilangkan kekerasan dalam kehidupan individu, komunitas, maupun masyarakat.
Program deradikalisasi bertujuan untuk mengubah pola pikir teroris agar tidak lagi menyimpang dari ajaran yang benar dan menghilangkan budaya kekerasan yang dianutnya. Pendidikan perdamaian akan mengajak para pembelajarnya untuk paham dan mengerti akar dan juga cabang dari sebuah konflik, sekaligus memahami alternatif-alternatif yang dapat timbul.
Kemudian, melalui refleksi, diskusi, dan penggunaan perspektif yang beragam agar para pembelajarnya tersebut dapat melihat dari berbagai macam sudut pandang. Pendidikan perdamaian juga mengajarkan kita untuk seolah-olah berada di pihak atau sisi lain untuk mengembangkan empati bagi para korban kekerasan atau mereka yang mempunyai perspektif atau sudut pandang berbeda dengan kita.
Pendidikan perdamaian mendatangkan cara berpikir alternatif yang adil dan membangun, di mana pembelajar di dorong untuk mengembangkan upaya-upaya resolusi dan transformasi konflik melalui cara-cara non-represif. Kondisi ini bisa diartikan bahwa proses pembelajaran yang digunakan dalam pendidikan perdamaian bersifat holistis dan berusaha untuk menyentuh dimensi kognitif, afektif, dan aktif dari pembelajarnya.
Karena itu, pembelajaran dari resolusi konflik melalui cara-cara non-represif adalah aspek penting dari pendidikan perdamaian. Pendidikan perdamaian dapat mentransformasikan mindset seseorang untuk melihat bahwa ada alternatif lain untuk menyelesaikan sebuah perbedaan di luar cara-cara kekerasan. Mereka dapat belajar cara-cara menyelesaikan masalah melalui metode collaborative problem solving yang dilakukan melalui mediasi atau negosiasi.
Metode ini dapat meningkatkan kualitas hubungan antar-manusia sehingga dimungkinkan terciptanya solusi yang konstruktif. Ini menjadi alasan penulis bahwa pendidikan perdamaian juga bisa diintegrasikan ke dalam program deradikalisasi, karena pada prinsipnya program tersebut juga akan mengubah mindset dari para napi teroris. Mengapa pendidikan perdamaian penting diajarkan sebagai bagian dari program deradikalisasi.
Kurikulum pendidikan perdamaian tidak boleh dipisahkan dari program utama deradikalisasi. Kurikulum ini dapat memberikan nuansa dan perspektif baru yang dapat dieksplorasi sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya, ketika program deradikalisasi bicara tentang menghilangkan unsur-unsur radikal dan kekerasan maka salah satu kajian dari pendidikan perdamaian, yaitu thematic model of peace yang dikembangkan UNESCO bisa digunakan.
Dalam thematic model of peace, toleransi erat kaitannya dengan pengertian “Learning to Live Together” dan “Respect Human Dignity”. Membangun kepercayaan, mengembangkan sikap saling menolong berbagi, serta penghormatan terhadap hak asasi orang lain merupakan beberapa konten dalam kurikulum pendidikan perdamaian yang bisa diintegrasikan ke dalam program deradikalisasi (UNESCO, 2005). Budaya-budaya kekerasan, intoleran, dan destruktif lama-kelamaan akan terkikis oleh doktrinasi perdamaian.
Selain itu, kegiatan dalam program deradikalisasi juga dapat diisi dengan diskusi, bermain drama, menonton film, analisis film, menerima kunjungan dan diskusi dengan tokoh agama Islam, Kristen, Budha, dan Hindu untuk mengenal dan mengetahui agama, membuat film pendek, serta menceritakan persoalan yang dialami, seperti masalah ekonomi, sosial, dll.
Tentunya materi yang ada dalam seluruh kegiatan ini adalah terkait perdamaian. Pendidikan perdamaian bisa dimasukkan ke dalam kegiatan-kegiatan seperti tadi, contohnya menonton film yang terkait upaya-upaya perdamaian, atau juga berdiskusi dengan tokoh agama lain, di mana hal tersebut dapat mengajarkan sikap toleransi beragama dan anti-kekerasan.
Kearifan Lokal
Dalam upaya mengubah tindakan kekerasan, pendidikan perdamaian menggunakan elemen-elemen budaya lokal, salah satunya adalah penggunaan kearifan lokal (local wisdom). Menurut Agus Surya Bakti, pelibatan kearifan lokal dapat menjadi benteng yang kokoh dalam menangkal radikalisme teroris. Sebagai negara yang majemuk dengan ratusan suku bangsa dan budaya, sejatinya kita punya banyak potensi untuk mencegah terorisme, salah satunya adalah dengan menggunakan kearifan lokal yang terdapat dalam masing-masing budaya yang ada di masyarakat kita ini (Bakti, 2014).
Atas dasar itulah, kearifan lokal dapat menjadi salah satu kurikulum yang diajarkan dalam program deradikalisasi, tentunya dengan tambahan nuansa pendidikan perdamaian di sana. Hal ini karena kurikulum pendidikan perdamaian harus diperkaya oleh nilai-nilai kultural dan spiritual, bersamaan dengan nilai-nilai kemanusian universal. Sebagai contoh, di Sulawesi Tengah, tepatnya di Poso, di mana sebagai salah satu daerah yang sempat dilanda konflik yang sangat besar, peran kearifan lokal sangatlah penting untuk meredam konflik tersebut.
Masyarakat Poso mempunyai konsep mirip dengan istilah “perdamaian”, yaitu sintuwu maroso. Istilah ini adalah salah satu sistem nilai kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Poso. Sintuwu Maroso dalam perkembangannya dimaknai sebagai suatu pengikat hubungan tali persaudaraan antara sesama. Sistem tersebut tetap dipertahankan secara turun temurun dimanapun penganutnya berada, walaupun di tanah rantau sekalipun. Hingga saat inipun, falsafah tersebut dilestarikan sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat di Poso.
Contoh lainnya adalah di dalam masyarakat Bali. Nilai kearifan lokal menyama braya mengandung makna persamaan dan persaudaraan dan pengakuan sosial bahwa kita adalah bersaudara. Sebagai satu kesatuan sosial persaudaraan maka sikap dan perilaku dalam memandang orang lain sebagai saudara yang patut diajak bersama dalam suka dan duka. Sederetan nilai-nilai kerafian lokal tersebut akan bermakna bagi kehidupan sosial apabila dapat menjadi rujukan dan bahan acuan dalam menjaga dan menciptakan relasi sosial yang harmonis.
Konsep-konsep budaya lokal yang mengajarkan perdamaian ini harus dimasukkan dalam program deradikalisasi dan diajarkan kepada para napi teroris. Konsep ini, menurut pandangan penulis, sangat berguna dalam proses rehabilitasi dan reedukasi mereka. Pengajaran tentang materi ini akan membuat mereka paham tentang nilai-nilai toleransi, tenggang rasa, tepo seliro, sampai hak asasi manusia, sekaligus mempersiapkan mereka untuk berperan kembali di masyarakat setelah bebas nanti.
Penulis: Jerry Indrawan Dosen Ilmu Politik Pertahanan UPN “Veteran” Jakarta. Alumni Peace and Conflict Resolution, Universitas Pertahanan