oleh: Marina Ika Sari (Peneliti, The Habibie Center)
Di tengah pandemi COVID-19 yang menyebar secara global dan menghantam berbagai aktivitas sosial-ekonomi, namun ada satu hal yang tidak berhenti karena adanya COVID-19, yaitu tugas membangun perdamaian oleh pasukan penjaga perdamaian PBB. PBB telah mengeluarkan aturan bahwa misi perdamaian tetap berjalan di wilayah misi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat untuk menjaga keamanan dan keselamatan pasukan penjaga perdamaian serta mencegah penyebaran virus corona. Walaupun dalam situasi pandemi COVID-19, pasukan penjaga perdamaian tetap menjalankan tugas untuk membangun perdamaian di wilayah penempatan mereka, termasuk pasukan penjaga perdamaian Indonesia.
Pasukan penjaga perdamaian Indonesia menorehkan beberapa prestasi dan keberhasilan menjalankan mandat PBB di era COVID-19. Salah satu yang menonjol adalah dalam konteks mencegah konflik antarnegara, dimana pasukan penjaga perdamaian Indonesia berhasil mencegah pertikaian senjata antara tentara Israel dan tentara Lebanon di wilayah Blue Line, di perbatasan kedua negara.
Selain itu, pasukan penjaga perdamaian Indonesia juga aktif berperan dalam melaksanakan mandat Protection of Civilian dan Civil Military Coordination (CIMIC). Dalam konteks Protection of Civilian, Kontingen Garuda – sebutan pasukan penjaga perdamaian Indonesia – berhasil merangkul serta menurunkan milisi-milisi untuk menyerahkan diri, membebaskan sandera warga Amerika dari tangan kelompok bandit, mengevakuasi warga sipil Kongo yang menjadi korban penghadangan bandit bersenjata di Republik Demokratik Kongo.
Sementara itu, melalui kegiatan CIMIC, pasukan penjaga perdamaian Indonesia memberikan manfaat langsung kepada masyarakat lokal, seperti memberikan bantuan kemanusiaan untuk pandemi COVID-19 berupa obat-obatan dan alat pelindung diri (APD) di Lebanon, membantu menyiapkan lahan untuk tempat pusat penanganan COVID-19 di Republik Afrika Tengah, memberikan pelayanan kesehatan gratis, psikologi lapangan, perpustakaan mini, serta sosialisasi pencegahan dan penanganan COVID-19 kepada masyarakat Kongo.
Dapat dilihat bahwa peran pasukan penjaga perdamaian telah berkembang dari waktu ke waktu. Pasukan penjaga perdamaian tidak hanya bertugas untuk mencegah konflik antarnegara (inter-state conflict), tetapi saat ini juga untuk menangani konflik yang bersifat internal (intra-state conflict) seperti perang saudara, ancaman dari kelompok bersenjata, ancaman terorisme dan radikalisme, hingga masalah penyakit menular. Jadi, tantangan yang dihadapi saat ini lebih banyak pada konflik yang bersifat asimetris.
Berdasarkan data dari PBB, Indonesia merupakan negara kontributor ke-8 terbesar di dunia dengan jumlah pasukan perdamaian mencapai 2.837 per Agustus 2020 yang tersebar ke 8 wilayah misi yaitu Sahara Barat, Republik Afrika Tengah, Mali, Republik Demokratik Kongo, Darfur, Lebanon, Abyei, dan Sudan Selatan. Pasukan penjaga perdamaian Indonesia tersebut terdiri dari 2.680 personil laki-laki dan 157 personel perempuan yang mencakup personel militer, polisi, staf sipil, dan UN Military Experts on Mission (UNMEM).
Dengan proporsi personel perempuan hanya sekitar 5 persen dari total pasukan penjaga perdamaian, Indonesia terus mendorong peningkatan jumlah dan peran dari pasukan perdamaian perempuan dalam misi PBB. Hal ini karena pasukan perdamaian perempuan juga mempunyai peran penting dalam membangun perdamaian di wilayah misi, terutama dalam pemulihan pasca konflik.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi menyatakan bahwa kinerja pasukan penjaga perdamaian Indonesia di beberapa negara mendapatkan apresiasi dari masyarakat lokal. Misalnya, pasukan penjaga perdamaian perempuan Indonesia berperan dalam membantu pemulihan trauma bagi korban perang yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, menangani kebutuhan khusus mantan gerilyawan perempuan selama proses demobilisasi dan reintegrasi ke kehidupan sosial, serta pemberdayaan perempuan di komunitasnya. Dengan demikian, pasukan penjaga perdamaian perempuan memiliki pendekatan yang unik dan akses yang tidak dimiliki pasukan penjaga perdamaian pria dalam membangun komunikasi dan negosiasi di wilayah konflik.
Kemudian, terkait dengan pengiriman pasukan penjaga perdamaian di masa pandemi COVID-19, PBB sempat melakukan penundaan sementara untuk rotasi, pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian PBB baru ke wilayah misi, dan pemulangan pasukan ke negara asal. Namun, pada September 2020, Indonesia mulai mengirimkan kembali personel TNI sebanyak 200 orang untuk ditempatkan di Republik Afrika Tengah dan sebanyak 280 Formed Police Unit (FPU) dikirimkan ke Darfur, Sudan dan Bangui, Republik Afrika Tengah.
Dengan demikian, keberadaan pandemi COVID-19 tidak menghentikan upaya pasukan penjaga perdamaian Indonesia untuk menjalankan tugasnya dalam membangun perdamaian di wilayah misi. Dengan keterbatasan kondisi di lapangan dan selalu penerapan protokol kesehatan, mereka tetap tidak lengah dalam bertugas. Hal yang terpenting adalah memberikan jaminan keamanan, keselamatan, dan kesehatan bagi pasukan penjaga perdamaian Indonesia agar tidak terjangkit virus corona saat bertugas. Karena pandemi COVID-19 memaksa kita semua untuk beradaptasi dengan situasi baru, demikian pula pasukan penjaga perdamaian Indonesia.