Bersuara

Saatnya Indonesia Berpikir Lebih Jauh dari Sekadar Tanggap Darurat

Ilustrasi: Bumi yang hijau dan subur dengan perbandingan bumi yang terdampak perubahan iklim sehingga menjadi kering. Foto: iStock.

Ditulis oleh:
Winda Eka Pahla Ayuningtyas, S.Pd., M.A.
Dosen Hubungan Internasional, UPN Veteran Jakarta

TERITORIAL.COM, JAKARTA – Banjir besar yang kembali melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh seolah menegaskan satu hal: Indonesia sedang berada pada titik genting dalam menghadapi krisis iklim. Tiap tahun, bencana serupa datang, meninggalkan pola yang sama—ribuan warga mengungsi, rumah rusak, aktivitas ekonomi lumpuh, dan trauma memanjang. Namun setelah air surut, pertanyaannya tetap menggantung: berapa lama lagi kita hanya akan menjadi negara yang sibuk merespons, dan bukan mencegah?

Krisis Iklim Bukan Lagi Prediksi, Tetapi Kenyataan di Depan Mata

Fenomena banjir yang menghantam tiga provinsi ini tidak bisa lagi dianggap sebagai bencana musiman. Curah hujan ekstrem kini terjadi lebih sering, intens, dan tidak dapat diprediksi. Laporan IPCC memang sudah lama memperingatkan bahwa negara-negara tropis akan berada di garis depan dampak perubahan iklim. Dan Indonesia, sayangnya menjadi salah satu yang paling merasakannya.

Tetapi perubahan iklim bukan satu-satunya penyebab. Kerusakan lingkungan akibat deforestasi, alih fungsi lahan, serta buruknya tata kota dan tata ruang adalah bom waktu yang terus kita biarkan aktif. Kita tahu bahwa DAS menyempit, resapan air hilang, dan pembangunan sering mengabaikan risiko bencana. Namun kita tetap berjalan seolah semuanya baik-baik saja.

Banjir di Sumut, Sumbar, dan Aceh hanyalah “gejala”. Penyakitnya jauh lebih dalam.

Indonesia Punya Komitmen, Tapi Eksekusi Masih Jadi PR Terbesar

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menunjukkan komitmen di berbagai forum global melalui NDC, RAN-API, program rehabilitasi hutan, dan sejumlah strategi adaptasi iklim. Kita berbicara vokal dalam COP, memimpin diskusi di G20, dan menjadikan isu keberlanjutan sebagai bagian dari agenda nasional.

Namun di lapangan, kesenjangan antara komitmen dan implementasi masih terlalu lebar.

Kita cepat dalam mengirim bantuan, mendirikan posko, dan mengerahkan BNPB ketika bencana terjadi. Itu patut diapresiasi. Tapi kita jauh lebih lambat dalam memperbaiki hulu persoalan: tata ruang yang dilanggar, alih fungsi lahan yang dibiarkan, serta pembangunan yang tidak mempertimbangkan daya dukung ekosistem.

Selama paradigma pembangunan tidak berubah, maka komitmen iklim kita hanya akan menjadi dokumen yang indah di atas kertas, tidak di lapangan.

Indonesia di Mata Dunia: Antara Prestasi dan Pekerjaan Rumah

Dunia sebenarnya melihat Indonesia sebagai negara dengan potensi besar dalam aksi iklim. Laporan World Bank (2023) bahkan menyebut restorasi mangrove Indonesia sebagai “one of the world’s most ambitious nature-based climate programs”. Sumber ini memberikan gambaran bahwa Indonesia memiliki kapasitas besar dalam menghadirkan solusi berbasis alam, kapasitas yang tidak dimiliki banyak negara lain di kawasan dan menjadi modal kuat dalam menghadapi krisis iklim.

Meski demikian, pengakuan internasional tersebut harus dibaca sebagai dorongan, bukan sekadar pujian. Dunia melihat Indonesia mampu berbuat jauh lebih besar dari capaian saat ini, dan disinilah relevansinya dengan banjir berulang yang terjadi di Sumut, Sumbar, dan Aceh. Bencana yang terus berulang menjadi pengingat bahwa reputasi positif Indonesia harus dibuktikan di lapangan melalui kebijakan adaptasi, tata kelola daerah aliran sungai, serta mitigasi risiko bencana yang lebih kuat dan konsisten.

Apa Kekhawatiran Dunia?

Di sisi lain, dunia juga menyampaikan kekhawatiran yang tidak bisa kita abaikan. Banyak pengamat internasional menilai bahwa Indonesia masih terjebak dalam model pembangunan yang terlalu menekankan eksploitasi sumber daya, sementara aspek resiliensi iklim justru tertinggal. Ketika banjir besar terus berulang, komunitas global melihatnya bukan hanya sebagai bencana alam, tetapi sebagai gejala dari struktur kebijakan yang belum berpihak pada keselamatan ekologis.

Kekhawatiran ini pada dasarnya adalah alarm: Indonesia dinilai belum bergerak cukup cepat untuk memastikan bahwa pembangunan dan perlindungan lingkungan berjalan seimbang. Dengan ekosistem yang rapuh dari gambut hingga pesisir bencana seperti banjir di Sumatera dan Aceh hanya akan menjadi semakin parah jika pendekatan kita tidak berubah.

Berulangnya banjir di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh semestinya menjadi titik balik bagi Indonesia. Kita tidak bisa lagi menunggu bencana berikutnya untuk kembali bereaksi. Jalan keluar sesungguhnya terletak pada keberanian untuk meninggalkan pola pembangunan lama yang merusak, dan beralih pada kebijakan yang mengutamakan resiliensi, mitigasi risiko, serta keberlanjutan jangka panjang. Dunia telah melihat potensi Indonesia dan menaruh harapan besar—sekarang waktunya kita membuktikan bahwa bangsa ini bukan hanya cepat dalam merespons bencana, tetapi juga visioner dalam mencegahnya. Jika Indonesia mampu menjadikan krisis ini sebagai momentum transformasi, maka kita tidak hanya akan melindungi warga hari ini, tetapi juga memastikan generasi mendatang mewarisi negeri yang lebih aman, tangguh, dan layak huni.

Kayla Dikta Alifia

About Author

You may also like

Bersuara

Cyber Army dan Cyber Militia

Terdapat beberapa kejadian di dunia maya yang dianggap oleh beberapa pihak sebagai suatu “perang siber”. Salah satu contoh yang menarik
Bersuara

Laut Cina Selatan Masa Depan Geostrategi Tiongkok

Disamping letaknya yang sangat strategis bagi jalur pelayaran Internasional, kekayaan akan sumber daya alam berupa kandungan minyak dan gas alam