TERITORIAL.COM, JAKARTA – Amerika Serikat mencabut visa Presiden Kolombia, Gustavo Petro, setelah menilai ucapannya sebagai hasutan yang memicu kekerasan.
Pada Jumat (26/9), Petro mengunggah video dirinya berpidato dalam bahasa Spanyol di depan kerumunan besar dengan bantuan megafon.
Dalam video tersebut, terlihat penerjemahnya menyampaikan seruan agar “negara-negara di dunia” mengirimkan pasukan untuk membentuk angkatan bersenjata yang “lebih besar dari Amerika Serikat”.
Menanggapi kebijakan tersebut, Petro menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak memengaruhi posisinya sebagai kepala negara.
“Bagi saya, itu tidak penting,” kata Petro yang memperlihatkan perlawanan terbuka terhadap tekanan diplomatik AS.
AS Tuduh Petro Hasut Kekerasan
Kementerian Luar Negeri AS menuduh tindakan Petro yang menghasut tentara Amerika untuk tidak menaati perintah.
Dalam pidatonya yang berbahasa Spanyol di hadapan massa, Petro meminta tentara AS untuk tidak menembaki warga sipil dan meminta negara lain ikut serta dalam kontribusi militer.
“Sebelumnya hari ini, Presiden Kolombia @petrogustavo berdiri di jalanan NYC (Kota New York) dan mendesak tentara AS untuk tidak mematuhi perintah dan menghasut kekerasan,” kata Departemen Luar Negeri AS.
Kecaman Keras untuk Trump
Dalam Sidang Umum PBB di New York sebelumnya pada Kamis (25/9), Petro juga mengecam keras Presiden Donald Trump.
Ia menyebut keterlibatan Trump dalam ketidakadilan global melalui kebijakan luar negerinya dan mendorong terjadinya konflik bersenjata di berbagai kawasan.
Selain itu, Petro juga menegaskan bahwa retorika Trump yang bersifat unilateral serta penggunaan kekuatan militer secara agresif justru memperburuk krisis kemanusiaan dunia.
Dampak Diplomatik
Pemerintah AS mengambil langkah tegas dengan mencabut visa seorang kepala negara, tindakan yang jarang terjadi dalam hubungan diplomatik.
Washington menggunakan keputusan ini untuk memberi sinyal bahwa Petro sudah melewati batas dalam pernyataannya.
Meski begitu, pencabutan visa tetap membatasi ruang gerak Petro, terutama untuk menghadiri forum internasional yang diselenggarakan di AS.
Walaupun demikian, hubungan bilateral kedua negara tetap berjalan melalui kerja sama menteri dan lembaga resmi.
Perbedaan Kebijakan Luar Negeri
Melalui isu ini, Donald Trump dan Gustavo Petro menunjukkan arah kebijakan luar negeri yang saling bertolak belakang.
Melalui prinsip “America First”, Trump secara tegas menempatkan kepentingan domestik Amerika Serikat di atas konsensus internasional.
Prinsip ini mendorong diplomasi unilateral, transaksional, dan konfrontatif, tercermin dari keputusan Trump keluar dari Paris Agreement dan WHO serta pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Trump juga secara aktif memakai tarif, sanksi, dan militer sebagai alat diplomasi. Sebaliknya, Petro menempuh jalur ideologis dengan menantang AS dan memperkuat solidaritas Global South.
Ia secara terbuka mendukung Palestina, menolak hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin, serta mendorong integrasi kawasan melalui CELAC dan UNASUR.
Selain itu, Petro menempatkan isu lingkungan sebagai prioritas dengan menentang eksploitasi energi fosil berlebihan.
Jika Trump memandang multilateralisme sebagai beban, Petro justru memanfaatkannya untuk memperkuat posisi Global South.
Trump memperkuat supremasi AS lewat kebijakan luar negeri, sedangkan Petro menegaskan kedaulatan Kolombia sebagai negara progresif pro-Global South.