TERITORIAL.COM, JAKARTA – Isu peluncuran mata uang baru BRICS kian ramai diperbincangkan. Langkah ini dianggap sebagai bentuk nyata de-dolarisasi, yakni upaya mengurangi ketergantungan negara-negara besar non-Barat terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
BRICS sendiri beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, ditambah sejumlah negara mitra yang mulai merapat. Jika rencana ini terealisasi, peta kekuatan ekonomi dunia bisa berubah drastis, mulai dari perdagangan internasional, sistem pembayaran global, hingga posisi dolar sebagai mata uang cadangan utama.
Berikut dampak besar yang mungkin terjadi jika mata uang BRICS benar-benar lahir.
1. Dominasi Dolar AS Mulai Tergerus
Selama ini, dolar menjadi poros utama perdagangan dan cadangan devisa global. Data Atlantic Council mencatat, sekitar 88% transaksi valuta dunia dan 59% cadangan devisa internasional masih berbasis dolar.
Namun, BRICS mendorong perdagangan antarnegara anggota menggunakan mata uang lokal, bahkan tengah menyiapkan mata uang baru berbasis keranjang mata uang anggota plus cadangan emas. Rusia sudah lebih dulu melangkah, dengan hampir 90% transaksi BRICS kini dilakukan tanpa dolar.
Jika tren ini meluas, permintaan dolar di pasar global akan menurun, menekan statusnya sebagai mata uang utama dunia.
2. Sanksi AS Bisa Kehilangan Taji
Dolar bukan hanya alat transaksi, tapi juga senjata geopolitik. AS kerap menggunakan sanksi finansial berbasis dolar untuk menekan negara lain.
Namun, dengan hadirnya sistem pembayaran alternatif seperti BRICS Pay, posisi AS bisa goyah. BRICS Pay memungkinkan transaksi lintas negara tanpa bergantung pada SWIFT yang dikendalikan Barat. Jika ditambah mata uang tunggal BRICS, manuver sanksi AS akan jauh lebih sulit dijalankan.
3. Ancaman Inflasi di Negeri Paman Sam
Apabila permintaan dolar menurun drastis, nilai tukarnya bisa melemah. Situasi ini berpotensi memicu inflasi di dalam negeri AS.
Barang impor menjadi lebih mahal, biaya hidup naik, dan beban masyarakat meningkat. Analis bahkan menyebut, jika dolar benar-benar “dipulangkan” dari pasar global, AS bisa menghadapi badai inflasi dan krisis ekonomi serius.
4. Struktur Perdagangan Dunia Berubah
Dengan adanya mata uang BRICS, perdagangan antaranggota akan semakin terintegrasi. Sistem seperti BRICS Pay dan BRICS Bridge (platform berbasis blockchain) memungkinkan transaksi lebih cepat, murah, dan tanpa perlu konversi ke dolar.
Hal ini bisa mengubah wajah perdagangan global yang selama ini masih sangat bergantung pada dolar. Dunia menuju pola multipolar, di mana setiap blok ekonomi menggunakan sistem pembayaran sendiri.
5. Amerika Serikat Siapkan Jurus Balasan
Washington tentu tidak tinggal diam. AS sudah mulai mengancam tarif impor baru, bahkan hingga 50%, bagi negara-negara yang dianggap terlalu dekat dengan BRICS.
Kebijakan proteksionis ini menunjukkan ketakutan AS kehilangan pengaruh global lewat dolar. Sementara mata uang BRICS bisa mengikis “kekuatan senjata” finansial mereka.
6. Dorongan Sistem Moneter Multipolar
BRICS hanyalah awal. Jika berhasil, langkah ini bisa menjadi inspirasi bagi blok lain seperti ASEAN, Uni Afrika, hingga Amerika Latin untuk membangun sistem moneter serupa.
Banyak negara di Global South memang semakin tidak nyaman bergantung pada dolar, karena bisa menjadi alat tekanan politik dari Washington.
7. Tantangan Internal BRICS
Meski ambisius, pembentukan mata uang tunggal BRICS bukan perkara mudah. Perbedaan skala ekonomi antar anggota, China yang raksasa, Afrika Selatan yang kecil, berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan.
Selain itu, risiko dominasi China juga bisa menimbulkan kecurigaan antaranggota. Belum lagi, sampai kini belum ada jadwal resmi kapan mata uang baru tersebut akan diluncurkan.
8. Infrastruktur Finansial Baru
Tak hanya soal mata uang, BRICS juga menyiapkan fondasi sistem keuangan mandiri. Ada Contingent Reserve Arrangement (CRA) sebagai cadangan likuiditas, hingga jaringan pembayaran alternatif yang tidak bergantung pada Barat.
Ini semua menegaskan bahwa BRICS serius mengurangi ketergantungan terhadap sistem keuangan global yang selama ini dikuasai AS dan Eropa.