Beijing, Teritorial.com – Gelombang penolakan wajib militer oleh generasi Z di China semakin menguat menjelang parade militer besar-besaran yang direncanakan pada 3 September mendatang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius bagi pemerintah Beijing yang tengah berupaya memamerkan kekuatan militer kepada dunia internasional, khususnya Taiwan.
Kantor Informasi Dewan Negara China yang mengumumkan parade tersebut pada 28 Juni lalu, awalnya bertujuan menunjukkan peningkatan kemampuan militer Negeri Tirai Bambu. Namun, rencana tersebut ternoda oleh insiden penolakan wajib militer yang dilakukan seorang pemuda asal Guilin pada awal Juli.
Kasus Guilin Jadi Sorotan
Media pemerintah melaporkan bahwa mahasiswa kelahiran 2004 yang hampir menyelesaikan studinya itu dikenai sanksi berat setelah menolak melanjutkan wajib militer yang telah didaftarkannya pada Maret 2025. Pemuda tersebut dilaporkan kesulitan beradaptasi dengan kehidupan militer yang keras dan berkali-kali mengajukan permohonan mundur.
Alih-alih memberikan kelonggaran, otoritas justru menjatuhkan sanksi tegas berupa pemecatan dari universitas, pembatasan akses pekerjaan dan keuangan, larangan bepergian ke luar negeri, serta denda lebih dari 37.000 yuan (sekitar Rp85 juta).
Seorang mantan pejabat legislatif yang kini hidup dalam pengasingan mengklaim terdapat lebih dari 200 kasus serupa hanya di wilayah Mongolia Dalam. Provinsi lain seperti Shandong, Hubei, dan Fujian juga dilaporkan mengalami gelombang penolakan yang sama.
Akar Permasalahan
Para analis menilai tren ini mencerminkan disonansi mendalam antara tuntutan militer yang keras dengan generasi muda yang tumbuh dalam kemudahan digital dan semakin skeptis terhadap legitimasi negara.
Informasi dari pelapor internal mengungkap praktik korupsi di tubuh Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), mulai dari laporan palsu, jual beli posisi, hingga jejaring kekuasaan yang kebal hukum. Kondisi ini mengecewakan generasi muda yang awalnya terpanggil semangat patriotisme.
Kekecewaan semakin bertambah ketika para veteran yang telah menyelesaikan masa dinas kembali ke masyarakat dalam kondisi pengangguran dan terabaikan. Citra “mangkuk nasi besi” dari profesi tentara kini berubah menjadi kisah peringatan.
Pergeseran Ideologis
Ancaman terbesar bagi Beijing bukanlah perlawanan fisik, melainkan pergeseran ideologis yang diwakilinya. Semakin banyak generasi muda China yang tidak lagi memandang wajib militer sebagai panggilan patriotik, tetapi sebagai bentuk keterlibatan dalam rezim yang tidak mereka percayai.
Generasi ini menolak menjadi “daging meriam” untuk agenda partai yang tidak pernah mereka pilih. Ungkapan “kucai yang terus dipotong” kini populer sebagai metafora sinisme mereka terhadap kekuasaan negara.
Tanda-tanda penolakan ini sebenarnya sudah muncul sejak 2017, ketika koran militer China memperingatkan tren penghindaran wajib militer melalui berbagai cara, mulai dari tindik telinga, melukai diri, hingga mogok makan. Meski regulasi diperketat, penolakan tetap terjadi, khususnya di kota-kota pesisir yang lebih makmur.
Respons Pemerintah
Menghadapi gelombang penolakan ini, pemerintah China beralih ke strategi indoktrinasi dini. Menurut South China Morning Post, pelatihan militer kini diperluas hingga tingkat universitas bahkan taman kanak-kanak.
Pelatihan drone, simulasi tempur, dan pengalaman “berperang” kini menjadi alat untuk menanamkan loyalitas sejak dini. Alih-alih mendorong semangat sukarela, PLA justru mencoba “membentuk ketaatan”.
Upaya hukum pun turut digencarkan. Seorang direktur Komisi Urusan Hukum Kongres Rakyat Nasional memimpin reformasi yang disebut “pendalaman pendidikan pertahanan nasional”—eufemisme untuk penanaman nasionalisme dari usia dini.
Peringatan Keras
Pelapor dalam pengasingan menyampaikan peringatan keras bahwa jika perang Taiwan pecah, tentara yang direkrut secara paksa tidak akan berjuang demi negara, tetapi demi bertahan hidup. “Prajurit yang tidak percaya pada tujuannya tidak akan maju ke medan tempur—mereka justru mencari jalan keluar,” ujarnya.
Ia menyerukan kepada para orang tua di seluruh China untuk bertindak sebelum terlambat. “Jangan biarkan anak kalian mati demi seorang diktator,” tegasnya.
Pelapor tersebut menggambarkan masa depan kelam di mana pemuda dijemput paksa di jalanan, disiksa, bahkan dieksekusi jika menolak. Nasihatnya tegas: amankan paspor dan siapkan rencana keluar.
Tantangan Bagi Xi Jinping
Saat parade 3 September digelar nanti, tank-tank akan berjalan dan bendera akan dikibarkan. Namun di balik pertunjukan kekuatan tersebut, tampak jelas bahwa pemerintah sedang berjuang mempertahankan kepercayaan publik.
Presiden Xi Jinping boleh saja memimpin parade, tetapi ia mungkin sudah tidak lagi memimpin kehendak generasi muda yang kini lebih memilih kebebasan daripada sekadar menjadi simbol negara.