TERITORIAL.COM,JAKARTA – Indonesia Global Peace Convoy (IGPC) akhirnya memutuskan mundur dari misi Global Sumud Flotilla (GSF), yaitu konvoi laut internasional yang bertujuan menolong Gaza dengan membuka blokade dan menyalurkan bantuan kemanusiaan. Keputusan ini muncul setelah evaluasi panjang terkait kondisi kapal, cuaca ekstrem, dan keamanan, terutama setelah berada lebih dari 12 hari dalam tahap persiapan di Tunisia.
Meski demikian, langkah ini tidak berarti Indonesia berhenti berkontribusi. Justru, keputusan tersebut dinilai sebagai strategi matang demi memastikan misi tetap berjalan dengan lancar.
Sejak awal, Indonesia mengambil peran besar dalam persiapan flotilla. Melalui GPC, Indonesia menyumbangkan lima kapal yang diberi nama Malahayati, Hasanudin, Diponegoro, Soekarno, dan Pati Unus. Kapal-kapal ini dibeli melalui donasi publik dan lembaga kemanusiaan, dengan tujuan memperkuat armada internasional yang akan berlayar menuju Gaza.
Selain itu, sebanyak 60 lebih relawan, aktivis, dan jurnalis Indonesia juga telah tiba di Tunisia sejak akhir Agustus untuk bergabung dengan ratusan peserta lain dari 44 negara. Dari jumlah itu, 30 delegasi Indonesia disiapkan untuk ikut secara langsung dalam pelayaran.
Namun, kenyataan di lapangan tidak selalu sesuai rencana. Sejak 31 Agustus 2025, rombongan internasional di Tunisia berulang kali mengalami penundaan keberangkatan.
Kapal-kapal dari Spanyol, Italia, dan Yunani yang semestinya memperkuat armada ternyata mengalami kerusakan teknis akibat cuaca buruk dan kondisi laut yang ekstrem.
Tanggal keberangkatan yang awalnya ditetapkan pada 4 September terpaksa ditunda ke 7 September, kemudian kembali mundur ke 10 September. Hingga memasuki pertengahan September, jumlah kapal yang benar-benar siap berlayar berkurang drastis.
Situasi demikian memaksa Steering Committee Global Sumud Flotilla melakukan penyesuaian kapasitas, ini berupa mengurangi jumlah peserta yang dapat berangkat.
Dalam kondisi tersebut, GPC Indonesia memutuskan untuk menyerahkan jatah 30 kursinya kepada delegasi negara lain yang dinilai lebih memungkinkan untuk ikut secara langsung dalam misi pelayaran.
Melanie Schweizer dari Steering Committee GSF memuji langkah tersebut sebagai bentuk solidaritas yang luar biasa. “Delegasi Indonesia menjadi contoh yang sangat baik tentang pemahaman masyarakat terhadap misi. Mereka tidak hanya memberikan kontribusi finansial yang besar, tetapi juga rela menyumbangkan kursi mereka agar memberi tempat bagi peserta lain,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Ketua GPC Indonesia, Muhammad Husein, menegaskan bahwa keputusan mundur tidak diambil dengan ringan, melainkan setelah mempertimbangkan keselamatan, efektivitas, dan strategi jangka panjang.
“Misi kita sejak awal bukan hanya soal berlayar ke Gaza, tetapi juga untuk menyadarkan dunia tentang genosida yang terjadi di Palestina. Dengan besarnya keterlibatan internasional dalam flotilla ini, tujuan itu sudah tercapai,” katanya.
Meski tidak ikut berlayar secara fisik, peran Indonesia tetap terasa nyata. Kapal-kapal yang disumbangkan tetap akan digunakan oleh armada flotilla.
Selain itu, GPC Indonesia juga membantu logistik, akomodasi, serta dukungan moral bagi para aktivis internasional yang saat ini tengah bersiap melanjutkan perjalanan.
Dalam pernyataan resminya, GPC Indonesia menyatakan bahwa perjuangan membuka blokade Gaza adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran, strategi, dan kolaborasi berkelanjutan.
Rombongan Indonesia saat ini bersiap kembali ke tanah air untuk menyiapkan langkah selanjutnya dengan lebih terencana. Sebelum meninggalkan Tunisia, GPC Indonesia menyampaikan apresiasi kepada Kedutaan Besar RI di Tunisia atas dukungan diplomatik, serta kepada masyarakat Indonesia yang telah menyumbang dana, doa, dan tenaga untuk misi ini.
Pesan terakhir mereka menggema sebagai pengingat akan arah perjuangan yang masih jauh dari usai. “Tidak ada kemerdekaan bagi dunia sebelum Palestina merdeka,” tulis GPC Indonesia dalam pernyataannya.