TERITORIAL.COM, JAKARTA – Ketegangan di Timur Tengah kembali memanas menyusul rentetan serangan udara yang dilancarkan Israel terhadap sejumlah kota di Lebanon pada Kamis (16/10/2025) malam. Serangan masif ini sekali lagi menyoroti keseriusan Israel dalam mematuhi perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati hampir setahun sebelumnya.
Meskipun perjanjian damai antara kedua negara telah ditandatangani pada November 2024, Israel terus menunjukkan sikap tidak kooperatif dengan melancarkan serangan udara di berbagai lokasi, khususnya di wilayah selatan dan timur Lebanon.
Menurut laporan, setidaknya 12 kali serangan udara terjadi, yang mengakibatkan satu korban jiwa dan tujuh orang luka-luka. Kementerian Kesehatan Lebanon membenarkan bahwa semua korban adalah warga sipil yang tengah menjalani aktivitas harian mereka saat serangan terjadi.
Kantor berita NNA merinci beberapa lokasi yang menjadi target, termasuk Kota Bnaafoul di Sidon, Khirbet Dweir, serta area Roumine dan Houmine di Distrik Nabatieh. Tidak hanya itu, serangan menggunakan drone dilaporkan menyasar petani zaitun di Kota Blida, Distrik Marjayoun, saat mereka sedang panen. Dampak ledakan yang masif menimbulkan gelombang kejut yang kuat dan menerangi langit malam Lebanon selatan, memicu kepanikan luas di kalangan penduduk.
Serangan ini tidak hanya terbatas di area perbatasan; Distrik Sidon, Marjayoun, Bint Jbeil, hingga Baalbek di wilayah timur Lebanon juga turut menjadi sasaran.
Militer Israel mengklaim operasi ini bertujuan untuk menargetkan fasilitas penyimpanan senjata milik kelompok Hizbullah di Lebanon selatan dan wilayah Bekaa.
Namun, klaim tersebut dengan tegas dibantah oleh Presiden Lebanon Joseph Aoun. Ia menyatakan bahwa dalih keamanan tersebut hanyalah topeng untuk tujuan yang lebih destruktif.
“Israel menggunakan alasan keamanan palsu untuk menyerang wilayah kami dan mengganggu kehidupan warga sipil. Tujuan mereka jelas, menciptakan ketegangan baru agar penarikan pasukan tertunda,” ujar Aoun, seperti dilansir dari Anadolu, Jumat (17/10/2025).
Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata November 2024, Israel seharusnya telah menarik seluruh pasukannya dari Lebanon selatan pada Januari 2025. Faktanya, Israel masih mempertahankan lima pos militer di sepanjang perbatasan, sekaligus terus melanjutkan serangan udara dengan dalih menargetkan “infrastruktur Hizbullah”.
Serangan terbaru ini menambah panjang daftar pelanggaran yang dilakukan Israel sejak perjanjian damai berlaku. Sejak awal tahun saja, pasukan Israel telah tercatat melakukan setidaknya 20 pelanggaran udara dan darat di wilayah perbatasan Lebanon. Keberlanjutan aksi militer ini menimbulkan keraguan besar terhadap komitmen Israel untuk mencapai perdamaian abadi dan proses pemulihan ekonomi di Lebanon.
(*)