TERITROIAL.COM, JAKARTA – Pada 22 November 2025 di G20 Leaders’ Summit di Johannesburg, Afrika Selatan, Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi terlambat hadir sekitar satu jam dari jadwal.
Dalam unggahannya di platform X, dia menjelaskan bahwa alasannya ialah karena dia menghabiskan waktu cukup lama memilih pakaian yang pantas untuk penampilannya di forum tersebut. Sebuah hal yang kemudian memicu tanggapan beragam dari publik.
Dalam unggahan tersebut, Takaichi menyebut bahwa sehari sebelum keberangkatan ia baru mulai berkemas dan memilih pakaian.
Dia menulis bahwa saran dari Hiroshi Ando, Sekretaris Jenderal partainya, agar tampil dalam busana dari kain terbaik Jepang dan dirancang oleh para perajin unggulan, semakin membebani pikirannya.
Ia mengaku tidak memiliki koleksi busana semacam itu dan akhirnya memilih setelan jas/blazer yang telah ada di lemari, untuk memastikan ia “tidak terlihat murah” dan “tidak mudah dipandang remeh dalam negosiasi diplomatik”.
Reaksi terhadap unggahan itu cukup keras di Jepang. Beberapa warganet dan politisi menganggap fokus pada pakaian semacam itu kurang tepat dalam konteks diplomasi, apalagi ketika Jepang sedang menghadapi tantangan luar negeri yang serius.
Jepang di bawah kepemimpinan Takaichi tengah menghadapi krisis diplomatik dengan China akibat komentarnya yang menyebut potensi serangan terhadap Taiwan bisa menjadi “situasi yang mengancam kelangsungan hidup” Jepang.
Dalam citra diplomatik, pakaian dan penampilan pemimpin dalam pertemuan puncak internasional seperti G20 sering dianggap bagian dari “soft diplomacy” atau citra negara di mata dunia.
Keterlambatan Takaichi di forum sebesar ini menjadi perbincangan, apalagi dia adalah seorang wanita pertama yang menjabat PM Jepang dan memiliki panggung global yang cukup besar.
Fokus pada busana bisa dianggap sebagai distraksi atau memberi kesan kurang serius bila dilihat dari mata publik yang menuntut perhatian terhadap isu-isu strategis dan kebijakan.

