TERITORIAL.COM, JAKARTA – Sekitar 64 orang dilaporkan tewas dalam operasi kepolisian besar‑besaran di kawasan favelas Complexo do Alemão dan Complexo da Penha di Rio de Janeiro pada Selasa malam (28/10). Ini merupakan operasi polisi paling mematikan dalam sejarah kota ini.
Operasi tersebut dijalankan oleh sekitar 2.500 personel keamanan, termasuk polisi sipil dan militer, dengan dukungan kendaraan lapis baja dan helikopter.
Tujuan operasi ini adalah untuk menegakkan 250 surat perintah penangkapan dan penggeledahan terhadap geng terbesar di kawasan itu, Comando Vermelho (Red Command).
Gubernur Negara Bagian Rio, Cláudio Castro, menyebut operasi ini sebagai aksi melawan “narkoterorisme”. Ia mengonfirmasi bahwa di antara korban tewas terdapat empat petugas kepolisian.
Saat operasi dimulai pada dini hari, terjadi baku tembak sengit dengan geng yang mencoba memblokade jalan, membakar mobil, dan bahkan menggunakan drone yang dilengkapi granat untuk menyerang petugas.
Asap hitam mengepul di langit kota, sementara warga favelas melaporkan kesulitan untuk keluar rumah karena tembakan dan kendaraan lapis baja terus masuk ke pemukiman warga.
Rute bus dialihkan, sekolah‑sekolah ditutup sementara, dan fasilitas kesehatan pun ikut terdampak karena kekacauan dan penutupan akses jalan utama.
Operasi ini dilakukan menjelang rangkaian pertemuan internasional yang akan digelar di Rio dan di Brasil secara umum, antara lain pertemuan global wali kota dari C40 Cities Climate Leadership Group serta ajang Earthshot Prize 2025 di kota itu, sebagai bagian dari persiapan menuju COP30 yang akan berlangsung di kota Belem dari 10 hingga 21 November.
Secara historis, Rio memang sering melakukan operasi keamanan besar jelang event internasional seperti Olimpiade 2016, KTT G20 2024 dan KTT BRICS tahun ini.
Walau pemerintah negara bagian menganggap ini sebagai “penegakan hukum keras”, sejumlah kelompok hak asasi manusia dan akademisi menyoroti tingginya korban jiwa sebagai indikasi bahwa pendekatan militeristis seperti ini gagal menyasar akar masalah.
Misalnya, direktur eksekutif lembaga studi keamanan Sou da Paz mengatakan:
“Ini adalah pendekatan yang sepenuhnya gagal, karena tidak benar-benar menargetkan mata rantai dalan rantai produksi narkoba.”
Menteri Kehakiman federal Brasil, Ricardo Lewandowski, menyatakan bahwa pihaknya belum menerima permintaan dukungan dari otoritas negara bagian sebelum operasi tersebut dilancarkan dan meminta agar setiap kematian dievaluasi secara menyeluruh.
Kepada warga di kawasan favelas, operasi ini menambah kepanikan dan trauma.
Meski angka resmi korban tewas dikonfirmasi minimal 64, angka sebenarnya masih bisa bertambah karena banyak luka dan korban yang masih dirawat.
Situasi ini juga memunculkan kekhawatiran soal tanggung jawab negara dalam menjaga keamanan dan hak hidup warga, terutama di komunitas miskin yang selama ini menjadi lokasi operasional geng besar.

