TERITORIAL.COM, JAKARTA – Hanya sekitar 23 persen dari lulusan SMA (atau sederajat) di Provinsi Kalimantan Tengah yang melanjutkan ke perguruan tinggi.
Angka itu diungkap oleh Rektor Universitas Palangka Raya (UPR), Prof. Salampak, saat membuka kuliah umum di Kantor Gubernur Kalteng, Rabu (26/11/2025).
“Kalau 77 persennya tidak ke perguruan tinggi, ke mana mereka?” tutur Salampak.
Kondisi tersebut menunjukkan tantangan serius bagi sektor pendidikan di Kalteng, terutama dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk jenjang perguruan tinggi.
Pemerintah Provinsi Kalteng telah meluncurkan sejumlah program untuk mendorong pemuda daerah, termasuk dari pelosok dan 3T yaitu daerah tertinggal, terdepan, dan terluar, agar punya akses ke pendidikan tinggi.
Yang pertama, melalui program “Huma Betang Cerdas”, yakni inisiatif pembelajaran berbasis digital yang memungkinkan sekolah maupun siswa di kota maupun desa memiliki akses materi pelajaran, ujian, dan sistem manajemen kelas secara terpadu.
Dan yang kedua, “Satu Rumah Satu Sarjana”, yakni program beasiswa yang dibiayai pemerintah provinsi, dirancang untuk membantu pelajar dari keluarga kurang mampu agar bisa kuliah tanpa beban biaya.
Menurut Gubernur Agustiar Sabran, program ini diharapkan membuka akses pendidikan seluas-luasnya dari pedalaman sampai perkotaan, serta menjadi jalan untuk memutus rantai kemiskinan struktural.
Mengapa Hanya Sedikit yang Melanjutkan Kuliah?
Berdasarkan analisis dan data nasional, ada beberapa faktor utama yang menjelaskan rendahnya kelanjutan ke perguruan tinggi, baik di Kalteng maupun di banyak daerah lain.
Secara nasional, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa sekitar 30,85 persen penduduk usia 15 tahun ke atas memiliki ijazah SMA atau sederajat, namun hanya sekitar 10,2 persen yang lulus perguruan tinggi.
Faktor ekonomi sering menjadi penghambat utama. Biaya kuliah, transportasi, dan akomodasi di kota besar membuat banyak siswa atau keluarganya ragu untuk memilih jalur perguruan tinggi.
Faktor sosial dan budaya juga berperan. Bagi sebagian keluarga atau komunitas, terutama di daerah pedalaman, melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi mungkin dirasa berat, atau kurang dianggap sebagai prioritas.
Ketimpangan Pendidikan di Indonesia
Dilansir dari Berkas DPR, Di seluruh Indonesia, meskipun jumlah perguruan tinggi banyak, negeri maupun swasta, akses ke pendidikan tinggi masih relatif rendah.
Rendahnya partisipasi pendidikan tinggi ini turut memengaruhi kualitas SDM dan mobilitas sosial secara umum.
Upaya memperluas akses pendidikan, termasuk lewat subsidi, beasiswa, dan transformasi digital pendidikan, menjadi penting untuk mengecilkan kesenjangan antar daerah, terutama antara perkotaan dan pedesaan/pelosok.
Kasus Kalteng mencerminkan masalah yang lebih luas di banyak provinsi, yakni bahwa keberadaan sekolah menengah tidak otomatis menjamin siswa bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.
Rendahnya kelanjutan ini memiliki dampak jangka panjang, diantaranya keterbatasan akses pendidikan tinggi di daerah, kesenjangan kualitas SDM, dan berkurangnya kesempatan untuk mobilitas sosial.
Dengan program seperti Huma Betang Cerdas dan Satu Rumah Satu Sarjana, Kalteng menunjukkan bahwa dibutuhkan komitmen serius dari pemerintah dan masyarakat untuk menjembatani ketimpangan tersebut.
Namun, agar berdampak nyata, upaya itu harus diiringi dengan penyediaan informasi, pendampingan, dan jaminan keberlanjutan bagi siswa dari latar belakang kurang mampu.

