Serapan penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) di Indonesia terus meningkat signifikan, namun di balik angka yang menjanjikan terdapat tantangan besar. Laporan terbaru Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) berjudul “Survei APJII: Profil Internet Indonesia 2025” menunjukkan bahwa penggunaan AI masih terkonsentrasi pada demografi tertentu. Fenomena ini menjadi pekerjaan rumah untuk Indonesia agar pemerataan digital tercapai dan bisa bersaing di era ekonomi berbasis AI.
Menurut APJII, tingkat adopsi AI di Indonesia mencapai 28,5%. Angka ini menunjukkan minat masyarakat terhadap teknologi AI, seperti chatbot dan asisten virtual, semakin tinggi. Namun, data ini tidak merata di seluruh lapisan masyarakat, sehingga kesenjangan tetap menjadi masalah serius.
Analisis survei APJII mengungkap tiga faktor utama yang memengaruhi kesenjangan adopsi AI yakni usia, pendapatan, dan wilayah. Generasi Z, dikenal sebagai digital native, memiliki tingkat adopsi AI tertinggi, yakni 43,7%. Mereka memanfaatkan AI untuk belajar, hiburan, dan produktivitas. Sementara generasi lebih tua jauh di bawahnya, menunjukkan tantangan literasi digital lintas generasi.
Adopsi AI juga sangat dipengaruhi pendapatan. Pengguna berpenghasilan di atas Rp 10 juta per bulan memiliki tingkat adopsi hingga 67%, sedangkan pengguna berpenghasilan di bawah Rp 2,5 juta hanya 15%. Hal ini menunjukkan akses perangkat canggih dan edukasi AI masih didominasi kelompok ekonomi atas.
Kesenjangan geografis juga terlihat. AI paling banyak digunakan di Jawa-Bali, sejalan dengan konsentrasi pengguna internet mencapai 60,19%. Sementara itu, wilayah Timur Indonesia masih tertinggal karena tantangan infrastruktur dan akses internet yang terbatas.
Survei APJII juga mengungkap alasan sebagian masyarakat belum mengadopsi AI dikarenakan beberapa hal. Minimnya kesadaran dan pengetahuan sebanyak 46,56%. Hal tersebut banyak masyarakat tidak sadar keberadaan AI atau kurangnya literasi digital. Kurang relevansi dan pengetahuan penggunaan sebesar 22,68% dan sebagian (15.5%) merasa tidak membutuhkan AI atau tidak tahu cara menggunakannya.
Hal ini menunjukkan perlunya edukasi yang lebih baik tentang manfaat praktis AI dalam kehidupan sehari-hari.
Ketua Umum APJII, Muhammad Arif, menekankan bahwa kesenjangan adopsi AI adalah tantangan besar bagi Indonesia untuk menjadi pemain digital global. Strategi nasional yang terpadu diperlukan untuk meningkatkan literasi digital dan akses merata ke teknologi.
Percepatan pembangunan infrastruktur internet di daerah terpencil, program edukasi AI yang komprehensif, sesuai kebutuhan dan pemahaman masyarakat, perlu digalakkan. Edukasi tidak hanya soal penggunaan AI, tetapi juga manfaatnya di berbagai bidang, mulai dari pertanian hingga UMKM.
Survei APJII 2025 menunjukkan pertumbuhan adopsi AI yang pesat, namun ketimpangan berdasarkan usia, pendapatan, dan wilayah masih nyata. Tantangan utama terletak pada kesadaran dan akses yang tidak merata. Strategi nasional yang kuat diperlukan untuk meningkatkan literasi digital, memperluas infrastruktur, dan memastikan seluruh masyarakat dapat menikmati manfaat AI.