TERITORIAL.COM, JAKARTA – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memutuskan memangkas anggaran Transfer ke Daerah (TKD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Kebijakan ini diambil karena keterbatasan fiskal yang tengah dihadapi pemerintah pusat, sehingga penyaluran dana ke daerah harus dilakukan dengan lebih hati-hati dan terukur.
Pemangkasan Bersifat Sementara
Dalam pertemuannya dengan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung di Balai Kota Jakarta, Selasa (7/10/2025), Purbaya menjelaskan bahwa pemangkasan ini bersifat sementara dan akan dievaluasi kembali apabila kondisi ekonomi nasional membaik.
“Saya sudah berjanji kepada Pak Gubernur dan kepala daerah lain, kalau nanti ekonomi membaik, kebijakannya akan kami balik. Pertengahan triwulan II tahun depan, kami akan hitung lagi penerimaan pajak. Kalau ada kenaikan, dana akan dikembalikan ke daerah,” kata Purbaya.
Menurutnya, langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah menjaga keseimbangan fiskal di tengah tekanan ekonomi global. Purbaya juga menegaskan bahwa pemangkasan dilakukan secara presisi dan proporsional.
“Daerah dengan kontribusi besar terhadap penerimaan negara memang terkena pemotongan lebih besar. Tapi kami juga melihat kebutuhan masing-masing daerah,” jelasnya.
Meski demikian, ia yakin DKI Jakarta masih mampu bertahan meski Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima berkurang cukup signifikan.
Nilai TKD Turun dari Tahun Sebelumnya
Dalam APBN 2026, pemerintah menetapkan TKD sebesar Rp693 triliun, naik Rp43 triliun dari usulan awal Rp649,99 triliun. Namun, jumlah tersebut tetap lebih rendah dibandingkan alokasi TKD pada 2025 yang mencapai Rp919,87 triliun.
Keputusan ini langsung memicu reaksi keras dari sejumlah kepala daerah yang menilai kebijakan tersebut bisa menghambat pembangunan dan pelayanan publik di daerah.
Beberapa pemerintah daerah bahkan berencana menutup kekurangan anggaran dengan menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Namun langkah itu menuai penolakan masyarakat, seperti yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Purbaya membantah bahwa keputusan ini sepenuhnya datang dari dirinya. Menurutnya, kebijakan pemangkasan TKD merupakan hasil kesepakatan bersama antarlembaga pemerintah dan berdasarkan evaluasi terhadap kinerja daerah.
“Kalau daerah mau maju, mestinya dari dulu anggarannya sudah digunakan dengan baik. Banyak dana transfer yang belum terserap optimal, bahkan ada yang tidak sesuai prioritas pembangunan,” ujarnya.
Ia menambahkan, pemerintah ingin memastikan setiap rupiah dana transfer benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
Gelombang Protes dari Kepala Daerah
Kebijakan ini kemudian menuai gelombang penolakan dari berbagai gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Mereka meminta Kementerian Keuangan untuk membatalkan pemangkasan TKD 2026.
Ketua Umum APPSI sekaligus Gubernur Jambi, Al Haris, menilai pengurangan transfer berdampak langsung pada kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan dan membayar gaji pegawai.
“Banyak daerah yang kesulitan menutupi belanja pegawai. Apalagi ada kewajiban membayar PPPK, ini tentu sangat membebani APBD,” ujarnya usai pertemuan di Gedung Kemenkeu, Jakarta.
Senada dengan itu, Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda mengaku daerahnya mengalami penurunan alokasi TKD secara drastis. DBH yang diterima Maluku Utara tahun depan hanya Rp6,7 triliun dari sebelumnya Rp10 triliun.
“Dengan potongan sebesar ini, anggaran kami hanya cukup untuk belanja rutin. Pembangunan infrastruktur otomatis terhambat, padahal itu penting untuk pertumbuhan ekonomi daerah,” kata Sherly.
Usulan Gubernur untuk Solusi
Beberapa gubernur juga mengusulkan solusi alternatif. Gubernur Aceh Muzakir Manaf meminta agar pemangkasan TKD dibatalkan dan anggaran tetap dipertahankan seperti tahun sebelumnya.
Sementara Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah mengusulkan agar pemerintah pusat menanggung pembayaran gaji ASN daerah, agar APBD bisa difokuskan untuk pembangunan infrastruktur dan program sosial.
“Tentu harapan kami TKD bisa dikembalikan lagi. Kalau tidak, kami usulkan agar gaji pegawai diambil alih pusat supaya daerah masih bisa membangun,” ujar Mahyeldi.
Pemerintah Janji Tinjau Ulang
Menutup polemik tersebut, Purbaya menegaskan bahwa pemerintah tidak menutup kemungkinan untuk meninjau ulang kebijakan ini di pertengahan 2026, terutama bila penerimaan pajak meningkat.
Ia berharap seluruh pihak memahami bahwa kebijakan ini diambil bukan untuk menghambat pembangunan daerah, melainkan demi menjaga kestabilan fiskal nasional di tengah tantangan ekonomi yang masih berat.
“Ini langkah sementara, bukan permanen. Kalau ekonomi membaik, kami akan kembalikan dana itu,” pungkasnya.