Jakarta, Teritorial.Com – Pasca pelantikan kabinet baru perekonomian Indonesia tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Berbagai indikator perekonomian nasional menunjukkan ekonomi dalam negeri sedang lesu. DIlansir dari data yang dipublikasikan oleh CNBC Indonesia bahwa Perekonomian Indonesia terus tumbuh melambat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia tumbuh 5,07% secara year on year (YoY) pada kuartal I, kemudian turun menjadi 5,05% YoY pada kuartal II dan turun lagi menjadi 5,02% (YoY) pada kuartal III tahun ini.
Perlambatan ekonomi Indonesia terlihat semakin nyata. Walau risiko resesi masih jauh, tetapi bukan berarti ekonomi Indonesia baik-baik saja. Kekuatan utama perekonomian Indonesia adalah konsumsi. Pada kuartal III-2019, konsumsi rumah tangga menyumbang 56,52% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Namun ada hawa penurunan konsumsi, atau minimal perlambatan lah. Ini dikonfirmasi oleh data penjualan otomotif terbaru. Pada Oktober, penjualan mobil turun 9,5% year-on-year (YoY). Sudah empat bulan beruntun penjualan mobil berada di teritori negatif. Sementara penjualan sepeda motor turun 2% YoY pada Oktober. Dalam tiga bulan terakhir, penjualan motor terlihat dalam tren menurun.
Data lain yang bersifat lebih makro seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga mencerminkan bahwa optimisme masyarakat terhadap perekonomian dalam negeri terus tergerus. Angka IKK terus menurun dalam lima bulan terakhir. Pada Oktober, IKK mencatatkan angka terendah sejak Februari 2017. Selain IKK, penjualan ritel RI juga tumbuh minimalis. Bank Indonesia (BI) mengumumkan sepanjang September tahun ini, penjualan ritel hanya dapat tumbuh 0,7% YoY. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 1,1% dan menjadi laju terlemah sejak Juni 2019.
Kemudian, Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa minggu lalu mencatat konsumsi rumah tangga penduduk Ibu Pertiwi melambat dengan hanya tumbuh 5,01% YoY pada kuartal III-2019 dari sebelumnya tumbuh 5,17% YoY di kuartal II-2019. Ini menjadi laju terlemah sejak setahun lalu, tepatnya kuartal III-2018.
Ekspor-Impor Juga Loyo
Perlambatan konsumsi rumah tangga terjadi hampir di seluruh aspek pengeluaran, terutama pakaian, alas kaki dan jasa perawatan. Selain data konsumsi yang menunjukkan perlambatan, aktivitas ekspor dan impor juga mengalami perlambatan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekspor Oktober 2019 terkontraksi atau turun 6,13% year-on-year (YoY) dan impor turun 16,39% YoY. Ini membuat neraca perdagangan surplus US$ 160 juta.
Padahal pelaku pasar memperkirakan neraca perdagangan bakal defisit. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan angka defisit neraca perdagangan sebesar US$ 300 juta. Sementara konsensus dari Reuters dan Bloomberg juga meramal terjadi defisit masing-masing US$ 280 juta dan US$ 240 juta. Sulit untuk merayakan surplus neraca perdagangan ini, karena kinerja ekspor masih belum membaik. Kontraksi ekspor Oktober menggenapi penurunan ekspor yang terjadi selama 12 bulan alias setahun.
Tak hanya ekspor, impor juga turun, bahkan lebih dalam. Pada Oktober, impor bahan baku/penolong turun 18,76% YoY sementara impor barang modal turun 11,35%. Impor bahan baku dan barang modal akan berubah menjadi realisasi investasi dalam tempo beberapa bulan ke depan. Secara bulanan (month-on-month/MoM), impor bahan baku/penolong masih naik 6,17%. Namun impor barang modal turun 5,87%. Dalam setahun terakhir, rata-rata pertumbuhan impor barang modal hanya 0,58% MoM, sementara bahan baku/penolong malah terkontraksi 0,96%.
Perkembangan impor bahan baku/penolong dan barang modal yang agak mengkhawatirkan ini membuat prospek investasi menjadi samar-samar. Apakah investasi mampu tumbuh 18,4% seperti pada kuartal III-2019? Bersyukur karena neraca perdagangan Oktober bisa surplus memang boleh-boleh saja. Namun surplus ini jangan membuat kita terlena, karena ada risiko yang mengintai di baliknya. Itulah tadi gambaran sekilas tentang perekonomian ibu pertiwi. Walau risiko terkena resesi masih jauh, hawa perlambatan yang kentara tak bisa diabaikan begitu saja.