IAW Pertanyakan Kemana Proyek Strategis Nasional INA-24

0

Jakarta, Teritorial.com – Proyek strategis nasional INA-24 yang digadang-gadang mampu meningkatkan keselamatan pelayaran justru menghadapi sejumlah persoalan serius. Proyek senilai Rp1,3 triliun yang didanai melalui pinjaman lunak dari Korea Selatan tersebut dinilai tidak transparan, tidak akuntabel, dan hingga kini belum menunjukkan hasil yang memadai.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menyebut proyek yang dirancang untuk membangun sistem sarana bantu navigasi laut justru menjadi beban keuangan negara. Karena menurutnya pelaksanaannya yang tidak jelas dan cenderung tertutup.

“Ketika rakyat Indonesia berharap laut menjadi urat nadi ekonomi dan keselamatan pelayaran ditingkatkan, proyek INA-24 justru tenggelam dalam kabut pelaksanaan yang tidak transparan, akuntabilitas yang minim, dan indikasi pemborosan keuangan negara,” kata Iskandar dalam keterangannya, Kamis, (12/6/2025).

INA-24 atau “Development and Improvement of Indonesian Aids to Navigation” dimulai sejak kesepakatan pinjaman luar negeri antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Korea Selatan melalui Economic Development Cooperation Fund (EDCF), yang dikelola oleh Export-Import Bank of Korea (KEXIM), pada tahun 2016. Nilai pinjaman yang disepakati sebesar USD 95,53 juta atau sekitar Rp1,3 triliun dengan bunga tetap 0,15 persen per tahun, masa tenggang 10 tahun, dan tenor pelunasan hingga 40 tahun. Proyek ini dijalankan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di bawah Kementerian Perhubungan.

Secara teoritis, dana tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur seperti mercusuar, rambu suar, radar Automatic Identification System (AIS), serta sistem kontrol pelayaran yang terintegrasi dan modern. Namun hingga akhir 2021, laporan progres fisik dan serapan anggaran menunjukkan kinerja yang rendah. Berbagai kendala disebut menghambat pelaksanaan proyek, mulai dari cuaca ekstrem yang tidak diperhitungkan sejak awal, keterlambatan pengadaan barang dan jasa, hingga masalah pembebasan lahan di titik pemasangan sarana bantu navigasi.

Kondisi tersebut diperburuk oleh lemahnya pengawasan. Iskandar menyayangkan belum adanya audit tematik maupun laporan hasil pemeriksaan khusus dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak proyek berjalan. Padahal, menurutnya, sejumlah dokumen keuangan dari Kementerian Perhubungan dan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menunjukkan indikasi permasalahan yang serius.

“Pelaporan proyek tidak lengkap, laporan triwulanan tidak diberikan sesuai perjanjian, dan ada risiko pengakuan aset negara yang belum selesai meskipun anggaran telah digunakan,” ujar Iskandar.

Ia juga mengingatkan bahwa kondisi ini bisa menimbulkan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam pelaksanaannya, proyek INA-24 dinilai tidak memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam sejumlah regulasi, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah, serta Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Iskandar juga mengkritik Kementerian Keuangan yang belum menyampaikan secara terbuka informasi mengenai skema pembayaran cicilan, bunga pinjaman, serta dampaknya terhadap risiko fiskal dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), baik kepada DPR maupun kepada publik.

Di tengah situasi ini, Indonesian Audit Watch mendorong agar pemerintah mengambil langkah tegas. Menurut Iskandar, Badan Pemeriksa Keuangan perlu segera melakukan audit terhadap proyek INA-24, baik dari sisi kinerja maupun kepatuhan terhadap regulasi pinjaman luar negeri. Ia juga meminta Kementerian Perhubungan untuk membuka seluruh laporan progres proyek, termasuk capaian hasil dan hambatan di lapangan. Sementara Kementerian Keuangan diminta menjelaskan skema pembayaran utang dan meninjau ulang rasio manfaat terhadap biaya dari proyek tersebut.

Selain itu, IAW mendesak agar kontraktor yang terbukti berkinerja buruk dievaluasi dan dikenai sanksi tegas, termasuk kemungkinan pemutusan kontrak serta pencantuman ke dalam daftar hitam. Seluruh dokumentasi terkait pinjaman dan laporan pertanggungjawaban proyek juga didorong untuk diunggah ke situs resmi pemerintah guna memungkinkan pengawasan publik yang lebih luas.

Iskandar menegaskan bahwa proyek hasil kerja sama bilateral Indonesia-Korea Selatan ini seharusnya menjadi langkah strategis untuk mewujudkan sistem pelayaran yang aman, efisien, dan terintegrasi secara teknologi. Namun jika pelaksanaannya hanya menghasilkan pemborosan, kelalaian administrasi, dan hasil yang tidak jelas, maka hanya akan meninggalkan beban utang jangka panjang bagi negara.

“Kita tidak sedang menonton drama Korea, tapi menghadapi realitas drama keuangan negara. Sudah saatnya pemerintah bertanggung jawab. Jika tidak, maka navigasi keuangan negara sendiri justru tengah kehilangan arah,”ujar Iskandar.

Share.

Comments are closed.