Jakarta, Teritorial.com – Program Manager Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, mengatakan, untuk mencapai puncak emisi sektor listrik di 2030, perlu dilakukan pengakhiran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan (EBT) pada kurun waktu yang sama.
“Dalam analisis IESR, untuk mencapai target bauran energi terbarukan pada sistem kelistrikan sebesar 34 persen pada 2030 sesuai target JETP (Just Energy Transition Partnership), maka selain 20,9 GW proyek energi terbarukan yang sudah direncanakan di RUPTL 2021-2030,” ujar Deon dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (18/2/2023).
Deon mengatakan dibutuhkan tambahan minimal 5,4 GW kapasitas energi terbarukan. Penambahan energi terbarukan ini perlu direncanakan seiring dengan pemensiunan PLTU hingga 8,6 GW.
“Sehingga keandalan sistem kelistrikan bisa terjaga,” ujarnya.
Lebih lanjut, Deon menegaskan, seiring dengan akan berakhirnya pengoperasian PLTU batu bara, pemerintah pun harus mulai mempersiapkan pengelolaan yang tepat terhadap infrastruktur kelistrikan seperti jaringan dan penyimpan energi (storage).
Selain itu, juga perlu dilakukan perencanaan diversifikasi ekonomi di daerah penghasil batu bara dan memberikan pelatihan maupun insentif kepada para pekerja dan masyarakat yang terdampak dari penutupan PLTU.
“Perencanaan transisi energi perlu memberikan arah yang jelas secara jangka panjang, sehingga dampak negatif dari transisi energi, misalnya kepada para pekerja di PLTU & rantai pasok (supply chain) batu bara, pengurangan penerimaan daerah dan nasional dari batu bara, dan lainnya sudah bisa teridentifikasi dengan jelas. Dari sinilah dapat disusun strategi dalam melakukan transformasi sosial dan ekonomi, seperti penyiapan lapangan pekerjaan baru, dan pelatihan skill yang sesuai untuk pekerja,” ungkapnya.