Jakarta, Teritorial.Com – Dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Perseoro) atau lebih dikenal PT ASABRI yang kini tengah menjadi sorotan publik ditengarai memiliki problematika dan sumber masalah yang sama, yaitu tata kelola manajemen investasi yang keliru.
Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo menilai, kedua BUMN tersebut sama-sama terjebak dalam permainan ‘saham gorengan’ atau saham-saham lapis ketiga dengan fundamental kurang baik dan produk reksa dana berkinerja negatif.
“Karena mereka menjanjikan bunga yang tinggi kepada nasabah. Maka mereka harus menginvestasikan pada saham-saham yang memberikan return yang tinggi tapi juga dengan risiko yang tinggi,” tutur Irvan seperti dikutip Alinea.id.
Dalam hal ini, Jiwasraya ditengarai telah memainkan saham di 14 reksa dana dengan total investasi mencapai Rp9 triliun dan nilai kepemilikan sebesar 50%-100% pada masing-masing emiten. Sebanyak 99,64% dana kelolaan investasi Jiwasraya dilimpahkan pada instrumen saham.
Pertaruhan terbesar Jiwasraya jatuh pada perusahaan perdagangan ikan hias, PT Inti Agri Resources Tbk. (IIKP) dengan total investasi sebesar Rp6 triliun. Nilainya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan aset yang dimiliki IIKP sendiri.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), IIKP hanya memiliki aset Rp332 miliar dan kerap mengalami kerugian. Perusahaan ini hanya pernah mencatat keuntungan pada 2008. Setelahnya, perusahaan yang dikomandoi Heru Hidayat selaku presiden direktur itu terus merugi.
Berlaku sama untuk ASABRI. Perusahaan asuransi sosial untuk TNI dan Polri ini memegang saham 17 perusahaan. Portofolio saham terbesar ASABRI dipegang PT Hanson International Tbk. (MYRX) sebanyak 4,7 miliar saham.
Pada akhir 2017, saham dengan kode MYRX itu melorot 56,1% dari Rp114 menjadi Rp50 per lembar. Mayoritas harga saham yang dimiliki ASABRI lainnya turun 50%-90%.
Kesalahan tata kelola investasi itu telah membawa kerugian untuk Jiwasraya hingga Rp12,4 triliun dan ASABRI sebesar Rp10 triliun.
Dampak kerugian akhirnya memaksa Menteri BUMN Erick Thohir mengambil sejumlah langkah penyelamatan (exit plan). Salah satu upaya penyelamatan yang sedang digodok adalah melepas saham PT Jiwasraya Putra, anak PT Jiwasraya (Persero) kepada investor asing.
Tak tanggung-tanggung, delapan perusahaan asing dikabarkan tertarik bergabung sebagai mitra strategis investasi Jiwasraya. Namun sampai sekarang, belum diketahui secara pasti nama-nama calon investor tersebut.
Terlepas dari nama-nama calon investor itu, Irvan mengatakan, kemungkinan besar Jiwasraya hanya akan melakukan divestasi sebesar 40% dari total saham yang dimiliki.
“Yang dilepas itu hanya sebagian saham saja. Mayoritas sekitar 60% itu akan dipegang Jiwasraya,” katanya.
Hal ini, tambahnya, akan jadi langkah yang paling muskil dilakukan untuk menyelamatkan Jiwasraya. Namun dengan catatan, Jiwasraya tidak lagi terlibat dalam konflik kepentingan dan lebih teliti berinvestasi.
“Harus menghindari dari konflik kepentingan. Terus ada check and balances. Ketiga soal risk management jadi portofolianya harus hati-hati,” tegas dia.
Pelepasan saham PT Jiwasraya Putra kepada investor asing juga mendapat tanggapan dari Togar Pasaribu, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI).
Menurut Togar, kepemilikan asing di perusahaan asuransi jiwa tidak akan berpengaruh banyak terhadap investor lokal. Selama ini perusahaan asuransi jiwa justru kesulitan mendapatkan rekanan atau investor dalam negeri untuk meningkatkan kapasitas modal.
“Investor dalam negeri dinilai kurang berminat mengalokasikan modal yang besar untuk asuransi yang merupakan sektor jasa keungan padat modal, padat teknologi, dan berjangka panjang,” terangnya melalui pesan singkat.
Pernyataan tersebut sekaligus menjawab kekhawatiran sejumlah pihak akan tenggelamnya peran anak bangsa di tengah kepungan perusahaan asuransi jiwa milik investor asing, jika PT Jiwasraya Putra dijual. Terlebih saat ini, potensi pasar asuransi jiwa di Indonesia kian gemuk dan menggiurkan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per November 2019, total aset industri asuransi jiwa di Indonesia mencapai Rp543,88 triliun. Angka ini bisa terus bertambah seiring dengan semakin meningkatnya pemahaman literasi keuangan masyarakat.