Jakarta, Teritorial.Com – Isu banyaknya jalan tol naik di akhir tahun bukanlah merupakan isapan jempol belaka. Contohnya untuk satu BUJT saja seperti PT Jasa Marga akhir tahun telah menargetkan 21 ruas jalan tol yang dikelolanya untuk naik. Tahun depan sejumlah ruas jalan tol diperkirakan akan mengalami kenaikan. Rencana ini tentunya memberatkan masyarakat yang menggunakan jalan tol.
Menanggapi hal ini Anggota BPJT Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Agita Widjajanto mengatakan komposisi jalan tol sebenarnya sangat kecil, yakni hanya 0,33% dari total yang ada. Menurutnya jika merasa terbebani dengan penyesuaian tarif tersebut maka masyarakat bisa menggunakan jalan non-tol. “Sebetulnya masyarakat kalau terbebani bisa menggunakan jalan non-tol. Jalan tol dibuat untuk mendorong teman-teman pebisnis agar bisa berkompetisi,” kata Agita kepada CNBC Indonesisa dalam Power Lunch, belum lama ini.
Sebelumnya PT Jasa Marga Tbk (JSMR) menyebut akan terjadi penyesuaian tarif tol di tahun 2020 mengingat dalam dua tahun terakhir belum ada kenaikan. Pihak Jasa Marga memperkirakan akan ada penyesuaian sebesar 6-7%. Saat ini Jasa Marga sudah mengambil ancang-ancang jadwal kenaikan Tol Jagorawi dan Dalam Kota. Untuk kelancaran arus barang dan jasa menurut dia dibutuhkan jalan tol, terutama bagi pengusaha. Rata-rata waktu tempuh untuk jalan non-tol per 100 kilometer menurut Agita adalah 2,7 jam. Sementara dengan jalan tol, waktu tempuh per 100 kilometer bisa lebih efisien yakni 1-1,6 jam. “Jadi kita bisa berkompetisi dengan negara lain,”katanya.
Jika tarif tok di Indonesia dibilang lebih mahal, Agita menegaskan mahal atau murahnya tarif tol harus dilihat dari waktu dibangunnya. Bahkan jalan tol Jagorawi hanya sekitar Rp 200 per kilometer, dan pastinya lebih murah dibandingkan negara tetangga. “Kalau Transjawa Palimanan-Kanci kan sangat murah. Itu hanya nilai investasi buat bangun, dibagi tarif yang diterima, dan dikalikan jumlah kendaraan selama masa konsesi, tarif per km kan ada dimensi waktunya. Dilihat yang tahun pembuatannya sama, di Indonesia jauh lebih murah daripada Malaysia,” kata Agita.
Selain itu formula kenaikan tarif tol hanya memperhitungkan inflasi, jika dibandingkan UMR, nilainya masih di bawahnya. “Kami hanya menyesuaikan nilai mata uang,” tegasnya.