Hari Bakti TNI AU: Semangat, Pengabdian, dan Dedikasi “Tentara Langit”

0

Jakarta, Teritorial.Com – TNI AU memperingati Hari Bakti TNI AU yang jatuh pada tanggal 29 Juli setiap tahunnya. Hari Bakti TNI AU diperingati untuk mengenang dua peristiwa yang memiliki makna besar dan perlu dihayati oleh setiap prajurit TNI AU. Kedua peristiwa itu yakni serangan udara TNI Au terhadap pendudukan Belanda di Ambarawa, Salatiga dan Semarang, serta gugurnya tiga pelopor dan perintis TNI AU.

Pertama, serangan udara TNI AU terhadap daerah pendudukan Belanda di Ambarawa, Salatiga, dan Semarang, yang dilakukan oleh Kadet Penerbang Sutardjo Sigit, Suharmoko Harbani, dan Mulyono, dibantu tiga orang teknisi bertindak sebagai penembak udara yaitu Sutardjo, Kaput, dan Dulrachman. Serangan udara yang dilakukan menjelang subuh itu menggunakan dua buah pesawat Cureng dan sebuah Guntei.

Kedua, gugurnya tiga pelopor dan perintis TNI AU, masing-masing Komodor Muda Udara Adisucipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, dan Opsir Muda Udara Adisumarmo. Ketika, pesawat Dakota VT-CLA yang dinaiki serta membawa obat-obatan bantuan dari Palang Merah Malaya, ditembak pesawat Belanda Kitty-hawk dan jatuh di Desa Ngoto, 3 km selatan Yogyakarta.

Kedua peristiwa itu berawal dari perjanjian Linggarjati yang merupakan usaha untuk menuju penyelesaian konflik antara Indonesia dan Belanda, namun Belanda mengingkarinya. Karena, secara sepihak memutuskan hubungan diplomatik dan mengambil tindakan militer, yaitu, dengan mengadakan serangan serempak ke daerah Republik Indonesia pada 21 Juli 1947 yang dikenal dengan Agresi Belanda I.

Belanda melancarkan serangan besar-besaran ke berbagai wilayah Indonesia, termasuk di beberapa pangkalan udara dan yang menjadi sasaran utamanya adalah Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta, sebab dianggap sebagai pusat kekuatan udara RI.

Namun, karena cuaca buruk, serangan tersebut gagal dan Belanda mengalihkan ke pangkalan udara lain seperti Pangkalan Udara Panasan Solo, Maospati Madiun, Bugis Malang, Pandanwangi Lumajang, Gorda Banten, Kalijati Subang, dan Cibeureum Tasikmalaya. Sedang diluar Jawa, yang diserang Belanda yaitu Pangkalan Udara Gadut Bukittinggi, Sumatera Barat.

Aksi Militer Pertama Belanda itu menimbulkan kemarahan, selain karena mengingkari Persetujuan Linggarjati yang disepakati bersama, juga melanggar ketentuan hukum perang. Bagi bangsa Indonesia, tindakan semena-mena itu dipandang sebagai tekanan politis dengan maksud menghancurkan dan mengecilkan arti negara Republik Indonesia.

Sedangkan untuk TNI AU yang saat itu baru tumbuh, kehancuran beberapa pangkalan udaranya merupakan tamparan menyakitkan yang dimaksudkan mematahkan semangat juang prajurit TNI AU serta mempersempit ruang gerak dan membatasi laju pertumbuhan TNI AU.

Serangan Belanda yang betubi-tubi dan membabi buta itu menimbulkan kemarahan di hati pimpinan TNI AU saat itu. Dalam keterbatasan dan tidak mengenal menyerah, mereka terus berupaya menyusun kekuatan dan strategi untuk mengadakan serangan udara balasan ke wilayah yang di duduki Belanda.

Tanggal 28 Juli 1947 sekitar pukul 19.00, empat kadet penerbang yaitu Suharnoko Harbani, Sutardjo Sigit, Mulyono dan Bambang Saptoadji diperintahkan menghadap Kasau Komodor Udara Suryadi Suryadarma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Panggilan sangat rahasia ini menyangkut rencana operasi udara yang ditugaskan kepada empat kadet penerbang tersebut untuk menyerang kedudukan Belanda.

Pelaksanaan operasi itu tidak semata-mata berupa perintah, tetapi lebih bersifat suka rela. Namun, tidak seorang pun keempat kadet yang rata-rata berusia 19 tahun itu mundur dari tugas tersebut. Semua merasa terpanggil dan terhormat untuk melaksanakannya.

Dini hari 29 Juli 1947, Pangkalan Udara Maguwo dalam keadaan masih gelap. Namun, tiba-tiba digetarkan oleh deru pesawat yang mengemban misi yang belum pernah dilakukan Bangsa Indonesia. Kadet penerbang Sutardjo Sigit dan Suharnoko Harbani diperintahkan melakukan penyerangan ke Salatiga dan Ambarawa, pesawat Cureng yang diterbangkan diubah menjadi pesawat pengebom.

Kokpit pesawat dibuka, badan dan sayap, diberi cat warna hijau militer. Sedangkan, modifikasinya terletak pada pemasangan mekanisme untuk menjatuhkan bom yang digantungkan di kedua sayapnya, masing-masing sayap dibebani sebuah bom seberat 50 kg.

Pesawat yang dikemudiakan Suharnoko Harbani dilengkapi senapan mesin dengan penembak udara Kaput. Sedangkan, pesawat Sutardjo Sigit dibekali bom-bom bakar dan penembak udaranya Sutardjo.

Kadet penerbang Mulyono diperintahkan menyerang Semarang dengan menggunakan pesawat pengebom tukik ”Driver Bomber” Guntei berkekuatan 850 daya kuda. Pesawat berkecepatan jelajah 265 km/jam itu dibebani bom 400 kg dan dilengkapi dua senapan mesin di sayap dan sebuah dipasang dibelakang penerbang serta sebagai penembak udara Dulrachman.

Sementara itu, Kadet Penerbang Bambang Saptoadji yang menggunakan pesawat buru sergap Hayabusha dan bertugas mengawal pesawat yang diawaki Kadet Penerbang Mulyono, terpaksa dibatalkan karena pesawat yang telah dipersiapkan sejak pagi itu belum selesai diperbaiki setelah mengalami kerusakan.

Setelah mengadakan pengeboman di tiga kota itu, ketiga pesawat sebelum jam 6 pagi sudah mendarat kembali dengan selamat di Pangkalan Udara Maguwo.

Ada tiga efek yang ditimbulkan dari operasi udara itu. Pertama, meningkatkan semangat juang bangsa Indonesia dan menambah rasa percaya diri. Kedua, aspek diplomasi yaitu pengakuan atas keberadaan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia di masyarakat dunia. Ketiga, aspek militer yaitu keberadaan Angkatan Udara RI diperhitungkan oleh Pemerintah Belanda.

Serangan yang dilancarkan di pagi buta itu, tidak hanya memporakporandakan kubu-kubu pertahanan Belanda, namun lebih dari itu menurunkan mental dan semangat pasukannya. Untuk mengembalikan semangat tempur tersebut, Belanda melancarkan serangan balasan dan tidak mengindahkan lagi aturan perang.

Hal itu dibuktikan dengan peristiwa penembakan terhadap pesawat Dakota VT-CLA yang merupakan pesawat ”carteran” Republik Indonesia dari warga negara India Bijoyanda Patnaik yang bersimpati terhadap perjuangan Indonesia, pada sore harinya. Saat pesawat yang dikemudikan Pilot Alexander Noel Contantine dibantu Copilot Roy Hazelhurst tersebut akan mendarat di Pangkalan Udara Maguwo.

Roda mendarat sudah keluar dari tempatnya, namun secara tiba-tiba muncul pesawat P-40 kittyhawk Belanda yang langsung menghadang dan menyerang dengan berondongan peluru. Pesawat Dakota VT-CLA yang membawa obat-obatan sumbangan dari Palang Merah Malaya kepada Palang Merah Indonesia dan tanpa senjata itu oleng ketika mesin sebelah kiri terkena tembakan lalu jatuh di Desa Ngoto, 3 km sebelah selatan Yogyakarta.

Badan pesawat patah menjadi dua dan bagian lain hancur berkeping-keping. Korban yang gugur dalam musibah itu diantaranya Komodor Muda Udara Adisucipto, Komodor Muda Udara Profesor Dr Abdulrachman Saleh dan Opsir Muda Udara Adisumarmo.

Gugurnya tokoh-tokoh TNI AU saat itu mengakibatkan rasa kedukaan mendalam karena tenaga dan pikirannya sangat diperlukan untuk membangun dan membesarkan Angkatan Udara. Pengorbanan tokoh perintis TNI AU tersebut merupakan bukti dan bhakti pengabdian yang diberikan TNI AU kepada bangsa dan negara.

Untuk mengenang dan mengabadikan peristiwa gugurnya para tokoh dan perintis TNI AU ini, sejak tahun 1955 tanggal 29 Juli diperingati sebagai ”Hari Berkabung” TNI AU dan mulai tahun 1962 diubah menjadi Hari Bakti TNI AU.

Berdasarkan Surat Keputusan Kasau Nomor: Skep/78/VII/2000 tanggal 17 Juli 2000 tempat jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA di Desa Ngoto, diresmikan menjadi Monumen Perjuangan TNI AU.

Bersamaan dengan peresmian ini, dipindahkan pula kerangka jenasah Marsda TNI (anumerta) Adisucipto dan Marsda TNI (anumerta) Abdulrachman Saleh beserta istri dari TPU Kuncen Yogyakarta ke pemakaman TNI AU Ngoto Yogyakarta.

Meski jasad telah puluhan tahun di peluk ibu pertiwi, namun semangat, dedikasi dan pengabdian sebagian ”tentara langit” selaku sayap tanah air tidak pernah pudar. Inilah salah satu benang merah dari peristiwa 29 Juli 1947 yang harus diteladani dari para perintis TNI AU bagi generasi penerus TNI AU saat ini dalam melaksanakan tugas selanjutnya.

Share.

Comments are closed.