Jakarta, Teritorial.Com – Dengan alasan untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara, tanpa sepengetahuan publik, Polri sejauh ini telah melakukan patroli siber terhadap berbagai grup yang ada dalam layanan pesan instan Whatsapp atau biasa disebut WA. Dalam keterangannya Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko membenarkan hal tersebut.
Demi apapun alasannya, hal tersebut berpotensi melanggar hak privasi warga negara pengguna aplikasi, langkah tersebut tak bisa dihindarkan demi kepentingan yang lebih luas. Patroli siber terhadap grup WA tersebut kontan memicu kontroversi. Sejumlah anggota DPR bahkan mengingatkan apa yang dilakukan kepolisian itu bukan sekadar mengganggu privasi pengguna aplikasi WA, tapi juga melanggar konstitusi.
Terhadap kontroversi tersebut Moeldoko menandaskan bahwa pilihannya tinggal privasi atau kemanan negara. Jika berpikir untuk keamanan negara, nyawa pun bisa diberikan apalagi sekadar privasi. Karena itu, kebijakan tersebut harus dilihat dalam konteks yang lebih luas dan lebih baik.
“Keamanan nasional harus diberikan karena itu tanggung jawab presiden. Tanggung jawab pemerintah untuk melindungi rakyatnya. Jadi, kalau nanti tidak dilindungi karena abai, mengutamakan privasi maka itu, nanti Presiden salah loh,” ujar Moeldoko di Gedung DPR Senayan, Jakarta, kemarin.
Moeldoko selanjutnya menegaskan, patroli siber terhadap grup WA mau tidak mau harus dilakukan. Dia menyebut langkah itu merupakan keputusan bersama antara Menko Polhukam, KSP, Panglima TNI, Kapolri, Menkominfo, Mendagri, dan Jaksa Agung. Menurut dia, semua sepakat dalam kondisi di mana ada tekanan tinggi yang pada akhirnya akan mengacaukan situasi, langkah itu harus dilakukan.
“Maka, negara tidak boleh ragu-ragu mengambil keputusuan terhadap salah satu media sosial atau Whatsapp dan seterusnya, apa pun itu, yang nyata-nyata akan mengganggu situasi keamanan nasional, harus ada upaya untuk mengurangi tensi itu,” kilahnya.
Moeldoko memaparkan, patroli siber itu hanya mengenali siapa melakukan apa, berbicara apa dan menulis apa. Jadi, sepanjang itu dilakukan secara baik, maka tidak akan menimbulkan masalah karena yang menjadi masalah adalah penggunaan kata-kata yang pada ujungnya dapat menyinggung, menyakiti, dan memfitnah orang lain. “Sepanjang kita baik-baik saja enggak ada masalah,” ujarnya.
Wakil Ketua DPR Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) Fahri Hamzah menyayangkan kebijakan pemerintah yang memantau grup-grup WA. Dia menilai langkah pemerintah mengganggu privasi warganya sebagai bentuk penjajahan. Dia pun mengingatkan, jika memang Indonesia menganut sistem demokrasi, tentu tidak ada pihak yang berani melakukan hal itu karena melanggar UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
“Tapi faktanya, karena kita sendiri tidak merasa dilindungi akhirnya tindakan itu dilanjutkan,” katanya. Senada dengan Fahri, Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari menilai pengawasan grup WA oleh Polri sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak sesuai semangat ketika pembuatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE).
”Pertama saya melihat ini sebuah langkah yang tidak bijak karena grup WA itu sifatnya kan tertutup, bukan publik. Artinya (anggotanya) diundang. Kalau tidak sepakat ya keluar,” katanya. Kharis lantas menyampaikan kekhawatiran atas pengawasan grup WA justru akan mengekang orang untuk berpendapat. ”Bagaimana kalau misalnya polisi yang patroli, misalnya lagi pandangannya dengan orang yang tidak disukai, itu jadi bahaya sekali, bisa abuse of power,” tutur politikus PKS ini kemarin.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, sepakat dalam negara demokrasi tidak boleh negara mengintervensi hal-hal yang bersifat privat. ”Yang boleh adalah kalau ada ancaman yang dilakukan, tapi bukan atas dasar pemerintah memata-matai. Artinya, tidak ada privasi lagi dalam wilayah privat maupun wilayah kelompok. Dalam negara demokrasi, kita memiliki hak mengemukakan pendapat, termasuk mengkritik pemerintah,” paparnya.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi juga mengingatkan, selain melanggar hak privat, mengawasi grup WA juga berpotensi melanggar konstitusi UUD 1945. Dia menuturkan, berdasarkan keputusan MK (Mahkamah Konstitusi), hakim MK berpendapat penyadapan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak privasi yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut dia, aturan penyadapan di UU ITE telah dibatalkan dan diharuskan diatur dalam undang-undang tersendiri yang mengatur penyadapan. “Hakim konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 membatalkan Pasal 31 ayat (4) UU ITE karena tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya,” ungkap Heru.
Dia pun menandaskan, jika pemantauan grup percakapan itu dilakukan dengan penyadapan, itu jelas tidak diperbolehkan. Tetapi, kalau menggunakan metode lain bisa. Untuk itu, kata Heru, pemerintah harus menjelaskan metode apa yang digunakan oleh Polri dalam memantau grup percakapan Whatsapp.
Hal itu perlu disampaikan secara transparan kepada publik. “Metode bagaimana mereka membaca data atau konten WA perlu secara transparan disampaikan ke publik. Sebab ini isu sudah lama beredar, tapi selalu dikatakan pemerintah sebagai hoaks,” katanya.