Jakarta, Teritorial.Com – Pemindahan ibu kota menarik perhatian publik salah satunya terkait besarnya anggaran yang akan dikeluarkan dan investasi yang akan digunakan pemerintah untuk membangun ibu kota baru.
Untuk membangun ibu kota baru, pemerintah menyebut porsi pendanaan APBN tidak mencapai Rp100 triliun dari total pendanaan yang mencapai Rp466 triliun.
Sisa pendanaan sebesar Rp366 triliun lainnya harus dibiayai dari investor,termasuk asing. Hal tersebut membuat banyak pihak yang khawatir bahwa pemindahan ibu kota justru hanya akan membuat utang pemerintah kian menggunung.
Kendati demikian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan bahwa investasi, termasuk investasi dari asing dalam pembangunan Ibu kota baru bukan berbentuk pinjaman (utang). Selain itu, pemerintah juga tidak memberikan jaminan apa-apa dalam investasi tersebut.
Namun, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai pernyataan Jokowi itu belum tak cukup menjawab kekhawatiran masyarakat atas potensi penumpukan utang dalam pembangunan ibu kota baru. Ia mengatakan wajar publik memiliki kekhawatiran demikian. Pasalnya, porsi pendanaan pemerintah dalam pemindahan ibu kota baru tersebut memang kecil.
Sri menjelaskan bahwa investasi termasuk dari asing dalam pembangunan ibu kota baru sebetulnya wajar dan bukan suatu yang dilarang apabila pemerintah menggunakannya untuk memberi nilai tambah percepatan pertumbuhan ekonomi, serta membantu dalam penyerapan tenaga kerja.
Namun pada perkembangannya saat ini, ia menilai pemerintah sudah salah arah dalam memanfaatkan investasi asing untuk pembangunan ibu kota baru. Kesalahan tersebut bisa dilihat dari investasi asing yang hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan dalam pembangunan ibu kota, seperti untuk pengadaan infrastruktur, fasilitas umum, dan gedung-gedung pemerintahan di dalam ibu kota baru.
“Mau dia di ibu kota baru, maupun di daerah mana pun, tak masalah (investasi asing). Nah, cuma persoalannya, yang diundang untuk investasi di ibu kota baru ini adalah investasi yang hanya untuk pemenuhan kebutuhan pemerintahan,” kata Sri seperti dilansir dari CNNIndonesia.com
Menurut Sri, investasi asing dalam pembangunan ibu kota baru akan ideal bila digunakan untuk hal yang lebih bersifat komersil, ketimbang untuk infrastruktur pembangunan dan pemenuhan kebutuhan pemerintah itu.
“Misalnya untuk menumbuhkan kegiatan-kegiatan ekonomi di sana, ada investasi asing untuk hilirisasi industri di sana. Dengan begitu, yang tadinya orang tidak tertarik untuk berinvestasi ke Kalimantan, menjadi tertarik karena banyaknya industri yang dibangun di sana,” tuturnya.
Namun, Sri mengaku tak menolak mentah-mentah rencana pembangunan infrastruktur ibu kota baru yang selama digembar-gemborkan oleh pemerintah. Menurutnya, hal tersebut memang diperlukan sebagai fondasi kokoh untuk memperlancar rencana hilirisasi industri.
Akan tetapi, ia merasa pemerintah seakan telah dibutakan oleh rencana mengebut pembangunan infrastruktur ibu kota baru, hingga lupa terhadap skala prioritas yang tengah dihadapi Indonesia saat ini.
“Persoalannya, prioritas kita sekarang, kita menghadapi banyak masalah. Seperti, ancaman lay off atau PHK massal karena penurunan kegiatan ekonomi. Lalu, kita juga menghadapi tekanan dari daya beli masyarakat,” tuturnya.
Sri mengatakan, sepatutnya pemerintah merencanakan alokasi investasi asing untuk menghasilkan dana-dana yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah tersebut, ketimbang memikirkan pembangunan infrastruktur ibu kota baru.
“Sementara, kita berpikir sekarang hampir mencabut semua subsidi kepada masyarakat. Sementara, kita tiba-tiba concern sekali untuk mendanai pembangunan ibu kota baru yang belum tentu itu sangat urgent untuk kita sekarang,” katanya.
Pengamat Kebijakan dan Sosiolog Universitas Indonesia Rissalwan Habdy Lubis juga mengungkapkan hal yang tak jauh berbeda. Menurutnya, pemerintah telah salah langkah dalam menggunakan investasi asing tersebut untuk menyokong dana pembangunan ibu kota.
Selain itu, ia menilai perencanaan pemerintah sendiri kurang matang untuk melakukan pemindahan ibu kota. Ia menyatakan, metode penggunaan investasi asing yang dilakukan pemerintah terkesan terburu-buru, dan berpotensi mengancam keamanan negara.
“Yang namanya aset negara, apalagi ibu kota itu sebaiknya tidak dibiayai, tidak didanai investasinya oleh pihak di luar negara. Jadi akan lebih baik kalau ini dilakukan murni atas kekuatan keuangan negara sendiri,” tegas Rissalwan.
Pasalnya, dengan menggunakan investasi asing, Rissalwan khawatir pemerintah secara tak langsung atau pun langsung akan dipaksa membuka rencana tata ruang dan desain kepada investor asing yang masuk.
“Karena kalau kita mengundang investasi, berarti kan harus membuka desainnya. Padahal yang namanya ibu kota, itu salah satu sifatnya untuk pertahanan, dan keamanan nasional. Jadi semua negara, pasti yang namanya bagaimana desain utama dari ibu kotanya, itu pasti tertutup,” ungkapnya.
Dengan begitu, ia mengatakan pendapatan dari rencana pemerintah dalam membangun ibu kota yang identik dengan smart city dan modern dalam upaya mengerek investasi perekonomian juga tak sebanding dengan ancaman dari pertahanan negara yang berpotensi melemah akibat investasi asing tersebut.
“Nah ini yang harus juga diperhatikan. Jadi kan kita tidak hanya secara fisik mempunyai ibu kota yang sangat bagus, semuanya serba smart, dengan menggunakan teknologi modern, tapi risikonya bisa jadi pertahanan kita yang lemah,” ungkapnya.
Rissalwan pun merekomendasikan pemindahan ibu kota yang lebih perlahan dan matang, tanpa harus menggunakan investasi asing untuk menutupi modal pembangunan ibu kota baru tersebut demi keamanan negara.
“Kalau mau dipindahkan, lakukan dengan perlahan. Caranya gimana? ini kan bebannya berat, buat multi year. Bahkan jangan multi year, tapi multi rezim. Itu semua harus dengan kekuatan negara. Jadi jangan sampai, kita membangun aset negara pakai uang orang, apalagi nanti kontraktornya asing. Siapa yang bisa memastikan keamanan negara kita itu tidak disadap, atau sebagainya? enggak ada,” katanya.