Jakarta, Teritorial.Com – Mengejutkan! baru-baru ini Universitas Miami, Amerika Serikat (AS), melansir hasil penelitian bahwa media sosial (Medos) beralih fungsi sebagai media utama penyebaran massifnya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau negara Islam Irak dan Suriah bergerilya dan menebar propaganda di medsos melalui facebook, twitter, hingga WhatsApp, Telegram, bahkan instagram dan path.
Mereka sadar betul, penyebaran virus radikalisme dan propaganda lebih efektif melalui media sosial dibanding cara konvensional seperti ceramah di masjid dan pondok pesantren. Penelitian yang dilakukan dalam kurun waktu setahun (2015-2016) menunjukkan, ada 106.000 aktivis pro ISIS yang menggunakan media sosial untuk propaganda. Ada 166 grup di media sosial yang digunakan untuk membangun jaringan.
Dalam satu hari, setidaknya ada 90.000 pesan pro ISIS yang bertebaran dan berseliweran di media sosial. Dalam 24 jam, rata-rata ada 270 kicauan di twitter yang menggambarkan pro ISIS. Mereka memanfaatkan media sosial untuk menjaring anak-anak muda bergabung. Rata-rata mereka yang mencari identitas diri. ISIS cukup lihai merebut hati dan mempengaruhi cara pandang anak muda.
Sepanjang 2015, setidaknya ada 3.400 anak muda dari negara barat berhasil direkrut ISIS melalui media sosial. Dari jumlah itu, 1/6 nya adalah perempuan. Masifnya pergerakan teroris di linimasa membuat perusahaan media sosial kalang kabut. Facebook, google, twitter mulai menggalang kekuatan memerangi propaganda radikalisme di media sosial. Sepanjang 2015, twitter menutup 125.000 akun pro ISIS. Facebook juga melakukan hal sama.
Kepala badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius mewaspadai pola perkembangan terorisme di dalam negeri yang bergerak cepat. Penegak hukum tak hanya memasang mata dan telinga di masjid dan pesantren, tapi juga harus lebih dalam menyelami dunia digital. Salah satunya situs-situs berbau radikal. Penegak hukum harus sadar betul bahwa perkembangan teknologi memudahkan teroris melebarkan jaringannya.
Mengingat bahaya medsos yang dijadikan sebagai isntrumen oleh teroris, BNPT juga merilis sebuah data yang cukup meyakinkan kepada seluruh pengambil keputusan bahwa terdapat lebih dari 106.000 aktifis pro-ISIS di Indonesia menggunakan media sosial untuk melakukan propaganda baik berupa tulisan, gambar, suara, bahkan video kekerasan. kemudian terdapat lebih dari 166 group di medsos yang muncul setiap harinya untuk membangun jaringan, kemudian terdapat lebih dari 90.000 pesan mengandung unsur-unsur radikalisme bertebaran setiap harinya.
Data yang disampaikan oleh Kepala Deputi Kerja Sama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen Pol Hamidin dalam seminar internasional Indonesian Internastional Defense Science Seminar (IIDSS) 2018 yang bertempat di Jakarta, beberapa waktu lalu. Menuai reaksi yang cukup besar dikalangan dunia internasional.
Harus diakui, internet dan media sosial mempermudah aktivitas terorisme dan radikalisme. “Bahkan hal tersebut kini telah merambak dunia game online, jika sebelumnya melalui whats App, FB, Twitter, instagram dll, akan sangat muda di tracking kini mereka memainkan pola baru yakni dengan cara game online. Cara yang terbilang cukup unik namun troboson tersebut semakim menulitkan aparat keamanan untuk mendeteksi isi dari setiap pesan atau percakapan yang disampaikan melalui pola tersebut,” tegas Irjen Pol Hamidin.
“Perlu diketahui pola game online sudah ditebak karena mereka berlaku sewajarnya seperti orang bermain game. Misalnya teman yang satu chat; lakukan penyerangan kemudian ledakan di titik kordinat sekian-sekian, serang barisan ini, kemudian temannya menjawab laksanakan siap diledakan. Tampak seperti orang sedang bermain game pada umumnya sama sekali sulit untuk ditebak kemana sebetulnya maksud percakapan tersebut,” pungkasnya. (SON)