Stockholm, Teritorial.com – Dinamika politik internasional di Laut Cina Selatan (LCS) yang hampir tidak pernah dalam kondisi yang stabil telah berdampak pada fenomena arm races atau perlombaan senjata. Agresifitas Tiongkok dengan menambah gelar pasukan dan instalasi militer di wilayah sengketa, nampaknya menghadirkan kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara disekitarnya. Disamping itu klaim sepihak LCS, yang kemudian dilanjutkan dengan proyek reklamasi sejumlah karang di sepanjang gugusan kepulauan Spartly dan Paracel semakin menambah ketegangan yang ada.
Dilansir dari The Diplomat 30/09/2016, meningkatnya aktivitas militer Tiongkok disepanjang LCS membuat sejumlah negara khawatir akan dampak yang ditimbulkan jika, nantinya hal tersebut akan kembali menyulut konflik yang berkepanjangan di kawasan. Sejumlah negara seperti Vietnam Jepang, Filipina, Taiwan, Malaysia dan Indonesia dilaporkan telah meningkatkan anggaran pertahanan mereka. Dengan begitu arm race seolah tidak dapat dihindarkan lagi, perusahaan Aerospace Amerika Serikat yang merupakan industri strategis pertahanan negeri Paman Sam tersebut kepada Pentagon melaporkan bahwa tahun 2016 lalu Asia-Pasifik merupakan Kawasan dengan jumlah belanja senjata terbesar di dunia.
Fakta tersebut diperkuat oleh laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) dikutip dari forbes.com 23/12/2017, bahwa tren peningkatan anggaran pertahanan disejumlah negara Asia-Pasifik seperti yang telah disebutkan sebelumnya terus berlajut hingga 2018. Korea Selatan pada akhir September lalu merilis dokumen yang menunjukan terjadi peningkatan 4% untuk belanja pertahanan dan meyentuh angka 36.5 miliar USD. Hal yang sama dilakukan oleh negara tetangganya, Perdana Menteri Jepang Shinzo, pada awal desember lalu mengungkapkan bahwa anggaran pertahanan diluar prediksi sebelumnya meningkat hingga 43.6 miliar USD. Hal ini mengisyaratkan baik Jepang dan Korea Selatan tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan yang lebih sulit selanjutnya, dimana mereka juga harus berhadapan dengan fenomena nuklir Korea Utara. Hal yang serupa terjadi, kekhawatiran terhadap agresifitas militer Tiongkok, Taiwan telah merencakan peningkatan anggaran pertahan hingga 50% di tahun 2018.
Selanjutnya Asia Tenggara yang merupakan anggota ASEAN juga melakukan hal serupa. Pasca kunjungan Presiden Barack Obama ke Vietnam 2016 lalu, menandakan penarikan embargo senjeta AS kepada Vietnam. Begitu cepatnya pasca pencabutan embargo tersebut, anggaran pertahan dan belanja pertahanan Vietnam meningkat secara drastis. Peningkatan terjadi sekitar 8% dari anggaran di tahun sebelumnya. Total 4.4 miliar USD dikeluarkan oleh Vitenam untuk membiayai kebutuhan alutsista. Jumlah tersebut diperkirakan akan mengalami penambahan sekitar 8% di tahun 2018.
Diagram tersebut menunjukan bahwa peningkatan anggaran pertahanan yang itu berarti menandakan kembalinya fenomena arm races di Asia-Pasifik pasca perang dingin kembali terjadi. Adapun data tersebut menunjukan bahwa Tiongkok merupakan negara tertinggi untuk urusan anggaran pertahanan. Kebangkitan Tiongkok sebagai the new emerging power di kawasan dikendarai menjadi penyebab utama. Dimana geostrategi Tiongkok kedepannya akan berorientasi Outward Looking dengan LCS sbagai permulaan langkah Tiongkok. Tiongkok telah memprediksikan demi menunjang eksistensi dan peningkatan pengaruh militer di kawasan, hingga tahun 2020 Tiongkok telah mempersiapkan anggaran pertahanan sebesar 233 miliar USD. Jumlah yang sangat fantastis tentunya jika dibandingkan dengan negara Asia Lainnya.
Melihat grafik anggaran pertahan Tiongkok yang kian melambung tinggi, sejumlah pengamat ungkap bahwa Tiongkok sama halnya dengan meingkatkan level eskalasi konflik terutama di LCS. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi peningkatan anggaran pertahanan negara-negara Asia-Pasifik 2018 adalah ancaman nuklir Korea Utara. (SON)