Kerusakan Ekosistem LCS, Akademisi Ilmuan dan Pengamat Kritisi Tiongkok

0

Washington D.C.,Teritorial.com – Dalam beberapa dekade terakhir, hak berdaulat atas wilayah perairan Laut Cina Selatan (LCS) telah menjadi arena pertempuran kepentingan politik. Upaya klaim sepihak yang dilakukan Tiongkok sampai saat tetap menghadapi penolakan dari beberapa negara pengklaim lainnya yang merupakan negara anggota ASEAN.

Dari perkembangan terakhir memunjukan bahwa Tiongkok saat ini semakin menunjukan geliat guna memdapatkan hak atas tatakelola LCS sepenuhnya, yang itu berarti sama halnya dengan Tiongkok menjadikan LCS sebagai bagian dari integritas wilayah kedaulatannya. Berbagai upaya telah dilakukan, militerisasi didukung dengan proyek pulau buatan merupakan bentuk penguasaan secara de facto guna menunjukan kepada dunia internasional bahwa yang selama ini mendiami wilayah tersebut dan membagunnya adalah Tiongkok.

Menguntungkan bagi Tiongkok, namun tidak bagi pelestarian lingkungan, hal ini diungkapkan sejumlah pengamat dan ilmuan yang menilai bahwa upaya rekalamasi sejumlah karang menjadi pulau buatan untuk kepentingan militerisasi merupakan bencana lingkungan terbesar yang mengancam bagi keselamatan pelestarian biota laut serta kekayaan atas fitur-fitur maritim yang terkandung di dalamnya.

Dilansir dari asiasentinel.com (23/12/2017), bahwa untuk saat ini gerakan kepedulian terhadap lingkungan telah marak digelorakan, sejumlah pengamat geopolitik dan geostrategi beserta para ilmuan biologi, dan pakar kelautan belakangan ini menggelar gerakan untuk mengingatkan kepada setiap negara yang berkepentingan termasuk Tiongkok untuk kembali memperhitungkan aspek kerusakan lingkungan akibat kebijakan-kebijakan yang selama ini telah banyak merugikan.

Dalam keterangan lanjutan diungkapkan, apa yang seharusnya menjadi tanggungjawab bersama adalah dengan mengajak seluruh aktor yang terlibat sengketa terutama Tiongkok guna membahas permasalahan tersebut dan mulai melakukan proteksi terhadap stok ikan, dan yang terpenting adalah menjaga kelestarian lingkungan maritim beserta fitur-fitur di dalamnya. Semua pihak bertanggungjawab akan hal tersebut terlepas dari isu-isu konfliktual mengenai klaim atas LCS. Sebagai negara besar sudah semestinya Tiongkok menyadari akan hal tersebut, terlebih Tiongkok merupakan negara konsumen ikan terbesar menggunguli negara-negara Asia Tenggara lainnya.

“Khususnya di LCS, populasi ikan bisa saja bergerak disepanjang zona ekonomi eksklusif (ZEE), sebagaian besar populasi ikan di LCS melewati dua fase pertumbuhan proses awal dari perkembangbiakan, pertengahan hingga dewasa. Di sejumlah titik tertentu dengan pengambilan ikan secara besar-besaran overfishing atau upaya-upaya yang berdampak terhadap perusakan lingkungan seperti yg dilakukan Tiongkok turut menjadi penyumbang dampak buruk tidak hanya bagi kesedian stok ikan selanjutnya, namun berkurangnya jenis populasi ikan yang mendiami wialyah perairan tersebut,” Tegasnya melalui keterangan tulis kepada sejumlah awak media internasional.

Overfishing Ancaman Terhadap Ekosistem LCS

LCS merupakan wilayah pertemuan berbagai jenis ikan di penjuru dunia, dimana hingga saat ini menempati sekitarnya 30% jumlah jenis populasi ikan di dunia. Maka satu hal yang harusnya ditekankan oleh pemangku kebijakan mendorong terbentuknya kerjasama multilateral terutama di wilayah-wilayah yang masih dalam tingkat ketegangan yang cukup tinggi. Perlu diketahu lebih dari setengah jumlah kapal nelayan di dunia beroperasi di LCS, dan pada umumnya LCS bersumbangsih lebih dari 12% total aktivitas penangkapan ikan global.

Seoarang Perwira Tinggi Angkatan Udara AS, Adam Greer dalam tulisanya di The Diplomat tahun lalu menuturkan bahwa upaya yang harus dilakukan dalam menjaga populasi ikan tersebut, berbanding terbalik dengan penangkapan ikan di wialyah tersebut. Hal itu belum lagi perhitungan aspek legal maupun ilegal. Tiongkok layaknya “predator” sumber daya alam, dimana dengan kemampuan daya tangkap dan kapal jelajah nelayan yang cukup efektif dalam melakukan penangkapan ikan dalam jumlah yang besar.

Hasil pengamatan dari University of British Columbia profesor Rashid Sumaila dan William Cheung menyatakan bahwa sejak tahun 1950 telah terjadi peningkatan sejumlah 5-30%m dan diperkirakan 40% dari total tangkapan tersebut merupakan aktivitas Illegal Fishing.

Dok Asia Maritime Transparency Initiative

Klaim Tiongkok atas LCS Bencana Ekosistem

Lima negara ASEAN yang terlibat dalam negara pengklaim LCS adalah Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunai dan Singapura dikendari juga berhak atas 200mil laut sebagaimana yang telah disahkan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1994. Overlap baru terjadi ketika Tiongkok mengacu pada ketentuan lain yang tidak dibenarkan secara hukum laut internasional UNCLOS tersebut.

Tiongkok sebagai negara yang juga meratifikasi UNCLOS pada saat ini jelas menyadari bahwa 200mil laut ZEE atas perairan Selatan Tiongkok, adalah Vietnam bersama dengan Filipina yang merupakan Archipelagic State. Namun Tiongkok tetap bersikeras bahwa LCS merupakan warisan sejarah Historical Claim sejak jaman kuno yang telah ada untuk Tiongkok sebelum memasuki era negara modern.

Sejak tahun 1974 memegang kendali atas kepulauan Paracel, selanjutnya Tiongkok memperluas dengan mengokupasi sejumlah karang di kepulauan Spratly. keputusan Permanent Court of Arbitrase (PCA) juli 2016 lalu nampaknya tidak dapat menghentikan Tiongkok.

Kemudian bagaimana cara yang tepat selain menundukan Tiongkok untuk patuh serta peduli terhadap isu-isu lingkungan adalah melalui penekanan dengan mengikutsertakan Tiongkok bekerjasama dan terlibat dalam upaya bersama menjaga kerusasakan ekosistem dan mengelola penangkapan ikan di wilayah tersebut. Kemudian tragedi Scarborough Shoal dimana kapal Coast Guard beradu konflik di lapangan dengan kapal Angkatan Laut Filipina, juga tidak dapat dibenarkan. Insiden tersebut menggambarkan sebuah contoh baru dimana ketika power telah berkuasa maka hukum internasional tidak akan lagi berpengaruh apapun bagi Tiongkok. (SON)

Share.

Comments are closed.