Jakarta, Teritorial.Com – Ketegangan kembali terjadi di Laut China Selatan (LCS), pasca kontra dengan Amerika Serikat terkait Freedom of Navigation Operation (FONOP), kini China kembali berseturu dengan sejumlah negara di Asia Tenggara yang juga merupakan claimant state atas LCS yakni Malaysia.
Sontak hal tersebut cukup mencengangkan dunia terlebih situasi tersebut kian memperkeruh dinamika keberlangsungan geopolitik dunia saat ini yang juga sedang disibukan dengan perang dagang, konflik kepentingan soal status Hong Kong, hingga saling tuding siapa otak dibalik pandemi virus Corona Covid-19.
Melansir pemberitaan Reuters Pada awal tahun ini, sejumlah kapal China dan Malaysia terlibat dalam kebuntuan berisiko tinggi selama lebih dari satu bulan terakhir di dekat pulau Kalimantan di Laut China Selatan. Menurut situs pelacakan kapal Lalu Lintas Kelautan, kapal Haiyang Dizhi 8 milik China memasuki perairan dekat Malaysia.
Bukan tampa sebab, keberadaan kapal Haiyang Dizhi 8 milik China tersebut adalah untuk menghalau aktivitas pertambangan lepas pantai yang dilakukan oleh Malaysia yang berkedudukan di dekat dengan Capella Barat dibawah kendali operasi Petronas perusahaan minyak milik negeri Jiran tersebut.
Salah satu sumber Reuters lainnya juga mengatakan, sebuah kapal Vietnam juga menandai wilayah Capella Barat. Wilayah ini dekat dengan perairan yang diklaim oleh Vietnam dan Malaysia dan juga oleh China, melalui klaimnya yang luas terhadap sebagian besar Laut Cina Selatan dalam ‘nine-dash-line’ berbentuk U yang tidak dikenali oleh tetangganya atau sebagian besar dunia.
Menurut Direktur AMTI, Greg Polling, ini terjadi karena China memperluas jangkauan kapal mereka untuk pembangunan pulau-pulau buatan Beijing di perairan dekat kedua negara. “(Pulau buatan itu) menjadi pangkalan untuk kapal-kapal China. Ini secara efektif mengubah Malaysia dan Indonesia menjadi negara garis depan,” katanya dikutip Senin (8/6/2020).
Greg Polling mengatakan kapal-kapal China memperluas jangkauan mereka di kawasan itu, sebagian besar karena pembangunan lanjutan pulau-pulau buatan Beijing di Laut Cina Selatan. “Kepulauan tersebut menyediakan pangkalan depan untuk kapal-kapal China, secara efektif mengubah Malaysia dan Indonesia menjadi negara-negara garis depan,” kata Polling.
Mengutip Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI), tekanan China terhadap kedua negara bakal makin besar. Dengan menggunakan taktik “berkegiatan normal di bawah yuridisksi”, kapal China diklaim akan memburu negara-negara yang mencoba mengeksploitasi sumber daya di perairan termasuk RI dan Malaysia.
Walaupun berulangkali mendapat tekanan, Beijing tetap pada pendiriannya bahwa perairan di bawah yurisdiksi Tiongkok. Kendati selama berbulan-bulan kapal-kapal Tiongkok dituding memburu kapal-kapal negara lain yang mencoba mengeksplorasi sumber daya di perairan yang diklaim Tiongkok miliknya.