Pasca Temuan Manipulasi Hasil Pemilu, Presiden Bolivia Mengundurkan Diri

0

Sucre, Teritorial.Com – Presiden Bolivia Evo Morales mengumumkan pengunduran dirinya di tengah kekacauan pasca dirinya terpilih kembali dalam pemilu yang telah disengketakan pada bulan lalu.

Seperti dilansir BBC Indonesia, pada Minggu (10/11), pengawas internasional menyerukan agar hasil pemilu dibatalkan, dengan mengatakan bahwa mereka telah menemukan “manipulasi yang jelas” dari hasil pemilu 20 Oktober lalu.

Morales sepakat dengan temuan itu dan mengumumkan niatnya untuk menggelar pemilu yang baru – setelah merombak komisi pemilihan umum negara tersebut. Akan tetapi para politisi – serta panglima militer dan kepala kepolisian – telah mendesaknya untuk mundur.

Langkah serupa juga dilakukan oleh wakil presiden, Alvaro Garcia Linera, serta Senat Presiden Adriana Salvatierra juga telah mengundurkan diri.

Dalam pernyataannya di televisi, Morales mengatakan ia akan mundur dari posisinya sebagai presiden, dan mendesak para pengunjuk rasa untuk “berhenti menyerang saudara-saudari, berhenti membakar dan menyerang”. Beberapa sekutunya diserang awal pekan lalu, dan mengatakan bahwa rumah mereka telah dibakar.

Pasca penunduran diri Morales, para demonstran turun ke jalan untuk merayakan pengumuman tersebut sambil meneriakkan “ya, kita bisa” dan menyalakan petasan.

Sebelumnya, Bolivia dilanda aksi unjuk rasa anti-pemerintah selama beminggu-minggu, menyusul laporan tuduhan kecurangan pemilu dalam pemilihan presiden.

Ketegangan pertama kali terjadi pada malam pemilihan presiden setelah hasil penghitungan suara dihentikan sementara selama 24 jam. Hasil akhir menunjukkan bahwa Morales unggul 10% suara lebih – angka yang dibutuhkannya untuk langsung menang di putaran pertama pemilu.

Setidaknya tiga orang tewas dalam bentrokan yang terjadi kemudian. Beberapa petugas polisi berseragam juga bergabung dengan para demonstran.

Seorang wali kota di Bolivia bernama Patricia Arce bahkan diseret di jalanan tanpa alas kaki, disiram dengan cat merah, dan rambutnya dicukur paksa oleh para demonstran anti-pemerintah, setelah dituduh mengerahkan pasukan pendukung presiden untuk membubarkan unjuk rasa dan berperan dalam kematian dua pengunjuk rasa.

Pada hari Minggu (10/11), Organisasi Negara-negara Bagian Amerika, yang mengawasi jalannya pemilu, mengatakan bahwa mereka telah menemukan bukti manipulasi data skala besar, dan tidak dapat mengesahkan hasil penghitungan suara sebelumnya.

Tekanan terus bertambah terhadap Morales sepanjang hari, seiring mulai mundurnya sejumlah sekutu politiknya. Beberapa di antara mereka khawatir akan keselamatan keluarga masing-masing.

Panglima militer, Jenderal Williams Kaliman, juga mendesak Morales agar mundur “untuk memungkinkan proses pengamanan dan menjaga stabilitas”.

Pihak militer juga mengatakan bahwa mereka akan melakukan operasi untuk “menetralisir” setiap kelompok bersenjata yang menyerang para demonstran.

Pemimpin oposisi Carlos Mesa – yang mendapatkan jumlah suara di posisi kedua pada pemilu bulan lalu – berterima kasih kepada para pengunjuk rasa atas “kepahlawanan aksi perlawanan damai” yang dilakukan.

Dalam cuitannya, ia menggambarkan pengunduran diri Morales sebagai “akhir dari sebuah tirani” dan sebuah “pelajaran bersejarah”, dengan menambahkan: “Hidup Bolivia!”

Meski demikian, pemimpin Kuba dan Venezuela – yang sebelumnya menyatakan dukungan mereka kepada Morales – mengutuk peristiwa yang disebut sebagai “kudeta” tersebut.

Presiden Kuba Miguel Diaz-Canel menggambarkan peristiwa itu sebagai upaya “pengecut dan sarat kekerasan” menentang demokrasi, sementara pemimpin Venezuela Nicolas Maduro dalam cuitannya mengatakan: “Kami dengan tegas mengutuk kudeta yang dilakukan terhadap saudara presiden kami.”

Morales, presiden Bolivia pertama yang berasal dari masyarakat adat setempat, telah menjabat sebagai presiden sejak tahun 2006. Ia kembali berlaga dalam pemilu presiden keempatnya pada bulan Oktober lalu setelah Mahkamah Konstitusi membuat keputusan kontroversial yang menghapus peraturan tentang batas masa jabatan presiden.

Dalam referendum tahun 2016, mayoritas memilih “tidak” alias menolak amandemen konstitusi mengenai perpanjangan masa jabatan presiden. Meski demikian, partai Morales membawa masalah itu ke Mahkamah Konstitusi, yang pada akhirnya menghapus sama sekali aturan tentang masa jabatan presiden.

Share.

Comments are closed.