JAKARTA, Teritorial.com – Pemerintah Indonesia memprotes keras aksi penerobosan yang dilakukan oleh tujuh orang ke KJRI Melbourne, Australia pada Selasa, 1 Desember 2020. Tujuh orang yang diduga adalah warga Australia itu kemudian mengibarkan bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM), Bintang Kejora.
Ada pula spanduk yang dikibarkan dengan tulisan “TNI out, stop killing Papua” atau bermakna TNI keluar dan berhenti membunuh rakyat Papua.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah membenarkan aksi penerobosan tanpa izin ke properti milik pemerintah Indonesia.
“Benar aksi itu terjadi pada 1 Desember 2020 dan hanya terjadi di KJRI Melbourne,” ungkap pria yang akrab disapa Faiza itu kepada IDN Times melalui telepon pada Rabu (2/12/2020).
Aksi penerobosan KJRI Melbourne sambil mengibarkan bendera bintang kejora itu kemudian diunggah ke akun media sosial dan menjadi viral. Kejadian serupa pernah terjadi di KJRI Melbourne pada 6 Januari 2017 lalu.
Bagaimana pemerintah menanggapi kejadian yang berulang ini?
Aksi penerobosan ke KJRI Melbourne pada Selasa kemarin diabadikan melalui akun media sosial dengan nama Tim Buchanan. Di dalam akun tersebut juga menggambarkan bagaimana enam orang yang terbagi menjadi dua kelompok terpisah dan mengibarkan bendera bintang kejora.
Dua orang terlihat mengibarkan bendera bintang kejora di atap gedung utama. Sisa empat orang lainnya mengibarkan spanduk bertuliskan “TNI out, stop killing Papua” di tembok sebelah kiri yang berdempatan dengan bangunan gedung lainnya. Tujuh orang itu diprediksi menerobos KJRI Melbourne dengan memanjat tembok tersebut.
Di dalam akun itu, pemilik akun Tim Buchanan menjelaskan mengapa mereka menerobos KJRI Melbourne sambil membentangkan bendera bintang kejora. Ia beralasan aksi tersebut sengaja dilakukan menyusul tindak kekerasan di Papua akhir-akhir ini meningkat.
“Puluhan warga desa tewas terbunuh oleh pasukan khusus sejak September lalu, termasuk Pastor Yeremiah Zanambani dan bocah berusia 12 tahun, Warius Murib,” demikian cuitan di akun yang diduga anonim itu.
Selain itu, pada 1 Desember 2020 lalu, pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda mengumumkan telah membentuk pemerintahan sementara Papua Barat. Bahkan, ia turut mengklaim sebagai presiden sementara di wilayah tersebut.
Bagi Benny, pengumuman itu menandai intensifikasi perjuangan melawan penjajahan Indonesia di wilayah Papua yang berlangsung sejak tahun 1963.
“Kami siap untuk mengambil alih wilayah kami, dan kami tidak akan lagi tunduk pada aturan militer ilegal Jakarta. Mulai hari ini, 1 Desember 2020, kami mulai menerapkan konstitusi kami sendiri dan mengklaim kembali tanah kedaulatan kami,” ungkap Benny melalui keterangan tertulis yang dikutip oleh beberapa media asing.
Klaim sepihak itu sempat menjadi tanda tanya ahli hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Sebab, dalam hukum internasional yang dikenal adalah pendirian sebuah negara dan bukan pemerintahan sementara.
“Harus ada negara dahulu baru kemudian dibentuk pemerintahan,” ungkap Hikmahanto melalui keterangan tertulis hari ini.
Bahkan, pria yang juga menjadi rektor di Universitas Jenderal Ahmad Yani itu turut mendorong agar kepolisian turun tangan. Sebab, yang dilakukan oleh Benny sudah bisa diklasifikasikan sebagai tindakan makar.
Di sisi lain, Kemenlu turut mempertanyakan dasar Benny yang mengklaim dirinya sebagai presiden sementara Papua. Menurutnya, apa yang disampaikan oleh Benny itu termasuk sesuatu yang ilegal.
“Dalam kapasitas apa seseorang yang mengklaim secara sepihak menjadi presiden lalu mengatasnamakan masyarakat Papua,” ungkap pria yang akrap disapa Faiza itu melalui telepon pada hari ini.