Jakarta, Teritorial.com – Kerusuhan di Bangladesh buat geger dunia lantaran memakan korban jiwa hingga ratusan orang. Hingga Sabtu (21/7/2024) dilaporkan 103 orang tewas dan ribuan orang terluka akibat bentrok di Bangladesh antara mahasiswa dengan Polisi dan pendukung pemerintah.
Namun demikian hingga kini pemerintah Bangladesh masih bungkam dan belum mengkonfirmasi jumlah kematian dan korban luka akibat kerusuhan.
Ternyata asal muasal kerusuhan di Bangladesh dipicu karena ketidakadilan. Pemerintah Bangladesh memberikan karpet merah kepada para keluarga veteran untuk masuk sebagai pegawai negeri.
Dimuat New York Times, sedari 1 Juli 2024 Mahasiswa Universitas Dhaka melakukan demonstrasi untuk memprotes karpet merah orang dalam di pemerintahan Bangladesh. Demonstrasi itu kemudian menyebar ke universitas elit lainnya.
Protes berubah menjadi kekerasan ketika anggota sayap mahasiswa pro-kuota dari partai yang berkuasa, Liga Awami, mulai menyerang para pengunjuk rasa.
Seorang analis politik Zahed Ur Rahman, mengatakan penyerangan yang dilakukan kelompok tersebut terhadap siswi semakin memperburuk situasi.
Sistem kouta karpet merah untuk menjadi pegawai negeri di Bangladesh diperkenalkan pada tahun 1972 oleh Sheikh Mujibur Rahman, yang memimpin perjuangan kemerdekaan negaranya dari Pakistan pada tahun 1971.
Ribuan pengunjuk rasa dan pejuang tewas dalam perang tersebut. Sehingga sistem kuota menjamin bahwa negara akan menjaga keturunan para “veteran” yang dianggap sebagai pejuang kemerdekaan.
Saat ini, total 56 persen pekerjaan di pemerintahan disediakan, sebagian besar diperuntukkan bagi kerabat para pejuang tersebut. Kuota yang lebih kecil kemudian diperkenalkan untuk perempuan, kelompok minoritas dan penyandang disabilitas.
Sistem kuota ini yang kemudian dikritik oleh mahasiswa lantaran memberi karpet merah bagi para pendukung Perdana Menteri Sheikh Hasina, yang partainya Liga Awami memimpin gerakan kemerdekaan.
Terlebih angka pengangguran yang tinggi di Bangladesh serta lambatnya pertumbuhan ekonomi di negara tersebut semakin membuat depresi para mahasiswa.
Mahasiswa menuntut agar pekerjaan di pemerintahan mengutamakan sistem prestasi sehingga bisa menciptakan keadilan bagi seluruh pihak.