TERITORIAL.COM, JAKARTA – Balai Budaya Jakarta menghadirkan suasana berbeda lewat pameran terbaru berjudul “Tumbal”. Pameran ini menampilkan 18 lukisan karya Komjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, serta deretan buku, komik, mainan judi, dan benda-benda lawas lain. Chryshnanda tidak sekadar memajang karya, ia merangkai medium refleksi yang mengusik pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya tumbal dalam kehidupan bermasyarakat?
Dalam katalog pameran, Chryshnanda mengartikan tumbal sebagai orang-orang yang bisa dibodohi. Ia menyoroti realitas sosial yang selalu menghadirkan pihak yang memimpin dan pihak yang dipimpin. Mereka yang memegang kuasa biasanya lebih dominan, sedangkan mereka yang tidak berkuasa mudah dimanfaatkan. Kerentanan itulah yang membuka peluang seseorang menjadi korban.
Perspektif ini berkelindan dengan gagasan Michel Foucault tentang kuasa. Foucault menolak menempatkan kuasa semata sebagai instrumen represi. Ia justru melihat kuasa sebagai sesuatu yang produktif: melahirkan pengetahuan, menciptakan diskursus, bahkan membentuk tubuh sosial. Ia juga menekankan bahwa kuasa mengalir dalam setiap relasi sosial, bukan hanya berasal dari elite di atas. Dengan demikian, siapa pun sebenarnya bisa memegang kuasa, meski dalam skala berbeda.
Namun kuasa menuntut kecerdasan. Pengetahuan dan kecerdasan saling menguatkan, dan keduanya membekali seseorang agar tidak mudah diperdaya. Melalui “Tumbal”, Chryshnanda seakan mengingatkan bahwa kebodohan membuka celah paling fatal dalam dinamika kuasa.
Sebagai perwira polisi senior, Chryshnanda berangkat dari pengalaman panjang menghadapi berbagai bentuk kejahatan. Ia menyaksikan banyak orang jatuh menjadi korban bukan hanya karena niat jahat pihak lain, melainkan karena ketidaktahuan dan kelengahan mereka sendiri. Dari situlah ia menarik kesimpulan yang getir: kebodohan membuat manusia rentan menjadi mangsa, dan pada akhirnya, menjadi tumbal.
Membiarkan Pengunjung Menafsirkan Sendiri
Lukisan, benda-benda lawas yang pernah dipakai untuk berjudi, ornamen etnik, dupa yang mengepul, hingga lantunan sinden yang mengiringi—semuanya menciptakan atmosfer pameran “Tumbal” yang kental nuansa mistis. Mistis, dalam pengertian sebagai pengalaman spiritual yang dihadirkan. Chryshnanda mengajak pengunjung masuk ke ruang batin seorang tumbal: tidak secara gamblang, tetapi perlahan meresap lewat suasana.
Bagaimana pengunjung mendefinisikan pengalaman “berbeda” itu? Chryshnanda membiarkan mereka menafsirkan sendiri. Apa yang mereka lihat, rasakan, dan pikirkan, semua ia anggap sah sebagai makna.
“Konsep ini tentu bisa multitafsir. Silakan, para penikmat, para pemirsa, menafsirkan atau sekadar menikmati apa yang kami pamerkan hari ini,” ujar Chryshnanda ketika saya temui di Balai Budaya, Jumat (26/09/2025).
Mengapa ia membiarkan tafsir yang beragam? Apakah itu sengaja? Chryshnanda menanggapi dengan tenang, “Karena ini seni, tentu tidak bisa satu sisi.”