TERITORIAL.COM, JAKARTA – Bayangkan berdiri dalam sebuah ruangan sambil menyaksikan ratusan pusaka bersejarah dari seluruh penjuru Nusantara. Keris, kujang, pedang, tombak, rencong, dan senjata tradisional lainnya.
Itu bukan bayangan, melainkan kenyataan yang bisa dinikmati di Pameran Nasional Pusaka Nusantara 2025, yang digelar di Museum Sri Baduga, Kota Bandung, sejak 29 Juli hingga 31 Oktober 2025.
Pameran ini menampilkan 238–244 koleksi pusaka dari 26 museum di Indonesia menurut data Kementerian Kebudayaan dan jurnalis lokal.
Jumlah museum yang berpartisipasi terdiri dari 21 museum provinsi, 4 museum kabupaten/kota, dan 1 museum universitas.
Dari sisi Jawa Barat, provinsi tuan rumah memamerkan 64 jenis pusaka seperti kujang, keris, kudi, dan pedang.
Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, saat peresmian menyatakan bahwa pameran ini bukan hanya soal memamerkan artefak, tetapi terutama sebagai sarana edukasi untuk meningkatkan kesadaran publik tentang kekayaan warisan budaya Nusantara.
Ia juga mengingatkan pentingnya verifikasi dan kurasi ulang terhadap koleksi museum. “Jangan sampai catatannya ada, tapi barangnya tidak ada, hilang atau terbakar. Kita harus pastikan apakah benda itu asli, dari zaman apa, dan apa maknanya,” ujarnya.
Lebih jauh, Fadli Zon mendorong agar narasi pusaka, kisah, filosofi, dan makna budaya, dikembangkan menjadi kekayaan intelektual, bisa berupa suvenir, replika, bahkan inspirasi dalam produk kreatif seperti permainan, film, dan busana.
Perjalanan waktu dalam perkembangan teknologi perkakas Nusantara divisualkan lewat rangkaian koleksi prasejarah hingga masa logam.
Di bagian awal, pengunjung diperkenalkan pada kapak batu dari era prasejarah, kemudian berlanjut ke masa perunggu yang ditandai dengan hadirnya nekara, gendang perunggu berornamen khas, serta bejana-bejana upacara.
Memasuki zaman besi, evolusi teknologi terlihat jelas lewat munculnya ragam perkakas seperti mata panah, tombak, hingga alat pertanian seperti cangkul dan mata bajak.
Salah satu sorotan kuat datang dari Jawa Barat, yang menampilkan deretan pusaka bersejarah, termasuk Pedang Sanghyang Borosngora dari Panjalu, Ciamis, senjata yang secara tradisi disebut sebagai hadiah dari Prabu Siliwangi kepada penguasa Panjalu.
Beragam pedang lain dengan karakter berbeda juga dipamerkan, seperti Pedang Upas, Pedang Cikeruh, Pedang Hulu Naga Perak, sampai Golok Bersarung Perak yang konon pernah dipakai dalam pertempuran.
Koleksi keris Sunda turut mencuri perhatian. Beberapa di antaranya adalah Keris Sempana, Keris Tilam Sari, dan Keris Kebo Lajer yang dipajang dengan detail ukiran terlihat jelas dari balik kaca.
Meski kini tidak lagi sepopuler dulu di kalangan masyarakat Jawa Barat, keris pada masa lalu merupakan simbol kehormatan dan status sosial bagi pejabat maupun tokoh masyarakat. Setiap bentuk bilah dan jumlah luk-nya menyimpan filosofi mendalam tentang keberanian, kebijaksanaan, hingga kesetiaan.
Keragaman budaya juga terasa lewat koleksi dari berbagai wilayah Nusantara lain. Dari Aceh hadir Rencong Meucugek dan Peudeung Tumpeng Jeungki; Sumatera Barat membawa Pisau Tumbuk Lado; Jawa Timur menampilkan Celurit Madura; sementara Yogyakarta menghadirkan Tombak Prajurit Bugis, yang menegaskan luasnya jaringan budaya antardaerah.
Dari Indonesia Timur, Museum Cendrawasih Jayapura menghadirkan busur, anak panah, serta kapak batu yang usianya diperkirakan lebih dari seratus tahun.
Meski suasana pameran menjelang penutupan tampak lebih lengang, suasana berkeliling tetap terasa kuat dan menyentuh, menghadirkan rasa kagum pada detail dan keahlian para perajin di masa lampau yang mampu menciptakan karya begitu presisi tanpa teknologi modern.
Pameran ini juga diiringi dengan berbagai program pendukung, seperti seminar, lokakarya (workshop), dan bazaar UMKM.
Sebagai contoh, Dinas Koperasi dan UMKM Jawa Barat menuturkan bahwa 18 UMKM binaan turut berpartisipasi dalam pameran. Mereka memanfaatkan momentum ini untuk memperkenalkan produk kerajinan lokal kepada pengunjung dari seluruh Indonesia.
Benda-benda pusaka yang dipajang bukan hanya senjata, melainkan simbol identitas budaya dan sejarah.
Lewat pameran ini, pengunjung diajak menyelami filosofi tosan aji, yakni senjata tradisional yang memiliki peran simbolik dalam kehidupan masyarakat Nusantara, baik sebagai lambang kehormatan, kekuasaan, maupun spiritualitas.
Misalnya, kujang dari Jawa Barat atau keris dari berbagai daerah yang tiap ukiran bilahnya menyimpan cerita filosofis, yaitu keberanian, kebijaksanaan, kesetiaan, hingga ikatan sosial dan spiritual.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, pameran ini menargetkan 50.000 pengunjung selama periode pameran.
Harapan besar di balik target itu bukan semata kuantitas, tetapi agar generasi muda makin mengenal dan mencintai warisan budaya leluhur.
Wakil Gubernur Jawa Barat Erwan Setiawan menegaskan bahwa warisan pusaka seperti yang dipajang di Sri Baduga harus dijaga dan diwariskan, supaya tak hilang seiring waktu.
“Saya berharap generasi muda lebih mengetahui lagi, hendaknya dijaga warisan budaya ini, jangan sampai hilang.”
Pameran ini bukan semata pameran lokal, ini bagian dari upaya kolaboratif antar museum se-Indonesia untuk menyatukan narasi budaya.
Menurut Kadisparbud Jawa Barat, acara ini “merajut NKRI melalui budaya” sekaligus memperkuat identitas nasional lewat warisan pusaka.
Generasi muda yang datang ke pameran bukan hanya belajar melihat benda-benda kuno, mereka memahami bahwa benda tersebut adalah cerminan nilai-nilai budaya, filosofis, dan sosial yang telah melintasi zaman.

