Lifestyle

Cara Membentuk Anak Cerdas Bukan dengan Hafalan, Ada 6 Level Berpikir

Direktur Eksekutif Pelita Harapan Group dan Pendiri Riady Foundation, Stephanie Riady.

TERITORIAL.COM, JAKARTA – Mendidik anak agar tumbuh menjadi pribadi cerdas dan kreatif bukanlah hal yang mudah baik bagi orang tua maupn. Proses belajar bukan hanya berlangsung di ruang kelas, melainkan juga menjadi bagian dari kehidupan manusia sepanjang masa. Karena itu, cara mendidik anak sejak dini memiliki peran besar dalam membentuk pola pikir mereka di masa depan.

Di usia yang masih belia, anak-anak biasanya lebih mudah menghafal daripada benar-benar memahami sesuatu. Kebiasaan ini sering terbentuk karena pola belajar yang menekankan pada hafalan, baik di rumah maupun di sekolah. Padahal, menurut para ahli pendidikan, kemampuan menghafal hanyalah langkah awal dari proses berpikir yang lebih kompleks.

Hafalan Bukan Tujuan Akhir Pendidikan

Stephanie Riady, Direktur Eksekutif Pelita Harapan Group, menekankan bahwa kecerdasan anak tidak bisa diukur hanya dari seberapa banyak hal yang dihafal. Ia menjelaskan bahwa dalam dunia pendidikan terdapat konsep Bloom’s Taxonomy, yang menggambarkan enam tingkatan kemampuan berpikir manusia.

“Dalam pendidikan, anak memang perlu belajar menghafal, tapi itu baru tahap awal. Setelah itu mereka harus bisa memahami, mencerna, dan menggabungkan ide-ide menjadi satu kesatuan yang utuh,” ujar Stephanie Riady dalam program Naratama di kanal YouTube Kompas.com.

Ia menambahkan, “Tujuan akhirnya adalah sampai di level creation — anak mampu berinovasi, berpikir kritis, dan menciptakan sesuatu yang baru dari pengetahuan yang dimiliki.”

Mengenal Bloom’s Taxonomy

Bloom’s Taxonomy pertama kali dikembangkan oleh psikolog pendidikan asal Amerika Serikat, Benjamin S. Bloom, pada tahun 1956. Konsep ini menjadi dasar dalam sistem pendidikan modern di seluruh dunia karena menjelaskan bagaimana seseorang belajar dan memproses informasi secara bertahap.

Bloom membagi tujuan pendidikan ke dalam tiga ranah besar, yaitu:

  1. Kognitif – kemampuan berpikir dan memahami pengetahuan,
  2. Afektif – sikap, nilai, dan emosi dalam proses belajar,
  3. Psikomotorik – keterampilan fisik dan kemampuan melakukan tindakan nyata.

Dalam ranah kognitif, terdapat enam tingkatan kemampuan berpikir yang disusun dari yang paling sederhana hingga paling kompleks. Versi terbarunya, yang diperbarui pada tahun 2001, menjelaskan tahapan tersebut sebagai berikut:

  1. Remembering (Mengingat) – kemampuan mengingat fakta, istilah, atau konsep.
  2. Understanding (Memahami) – mampu menjelaskan makna dari informasi yang diperoleh.
  3. Applying (Menerapkan) – menggunakan pengetahuan dalam situasi baru yang relevan.
  4. Analyzing (Menganalisis) – menguraikan informasi dan menemukan hubungan antarbagian.
  5. Evaluating (Menilai) – menimbang dan membuat keputusan berdasarkan data dan logika.
  6. Creating (Menciptakan) – menggabungkan ide untuk menghasilkan inovasi atau gagasan baru.

Guru Perlu Diberi Pelatihan yang Lebih Mendalam

Menurut Stephanie, jika pembelajaran di sekolah hanya berhenti pada tahap hafalan, hal itu bukan sepenuhnya kesalahan murid. “Bisa jadi gurunya juga belum mendapatkan pelatihan yang cukup untuk mengajarkan kemampuan berpikir tingkat tinggi,” jelasnya.

Ia menilai banyak guru di Indonesia masih menggunakan metode belajar yang berfokus pada pengulangan dan hafalan karena sistem pendidikan sebelumnya juga menekankan hal tersebut.

“Sebetulnya para guru sudah melakukan yang terbaik, tapi mereka mengajar dengan cara yang sama seperti yang dulu mereka alami. Karena itu, pelatihan bagi guru menjadi hal penting agar mereka bisa mengajarkan anak-anak berpikir lebih kritis dan kreatif,” lanjutnya.

Pentingnya Kolaborasi dan Komunitas Pendidikan

Stephanie juga menekankan pentingnya kolaborasi dalam dunia pendidikan. Guru, orang tua, dan komunitas pendidikan perlu saling berbagi pengalaman serta mendukung satu sama lain.

“Komunitas pendidikan harus saling menginspirasi dan berbagi ide agar setiap guru bisa menjadi pengajar terbaik bagi murid-muridnya,” ujarnya.

Mendorong Anak Berpikir Kritis Sejak Dini

Penerapan taksonomi Bloom dalam pembelajaran tidak hanya relevan di sekolah formal, tetapi juga bisa dilakukan di rumah. Orang tua dapat melatih anak untuk berpikir kritis dengan cara sederhana, misalnya:

  • Mengajak anak berdiskusi tentang alasan di balik suatu peristiwa.
  • Memberikan kesempatan untuk memecahkan masalah kecil sendiri.
  • Mendorong anak mengungkapkan pendapat dan ide secara terbuka.

Dengan begitu, anak tidak hanya menjadi penghafal, tetapi juga pembelajar sejati yang mampu memahami, menilai, dan menciptakan sesuatu dari apa yang mereka pelajari.

Kayla Dikta Alifia

About Author

You may also like

Lifestyle

Putri Handayani, Orang RI Pertama yang Sampai di Kutub Selatan

Jakarta, Teritorial.com – Putri Handayani berhasil meraih gelar perempuan Indonesia pertama yang sampai di Kutub Selatan. Setelah mengarungi Antarktika selama
Lifestyle

15 Tempat Wisata di Magelang yang Menarik untuk Liburan

Magelang, Teritorial.com – Magelang merupakan salah satu wilayah di Jawa Tengah yang terletak di lereng gunung Merapi dan Merbabu. Hal