Jakarta, Teritorial.Com – Indonesia ternyata memiliki konsep daya saing lebih dulu dibanding negeri Paman Sam. Hal itu diterangkan oleh pakar ketahanan nasional Haryo B.Rahmadi dalam diskusi “Konsep Daya Saing Berbasis Nilai Kebangsaan” dalam acara Gus Dur Studies di Jakarta, pada akhir pekan kemarin.
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH UI) bekerjasama dengan Pojok Gusdur, Haryo B.Rahmadi mengetengahkan bela negara yang memiliki korelasi dengan daya saing suatu bangsa. Dimana, setiap warga negara yang menggeluti bidang apapun secara alamiah harus memiliki sedikitnya empat modal dasar dalam kehidupannya.
Dalam urutan logika yang berbeda, kemampuan untuk mengembangkan sumberdaya juga sangat tergantung dari ketahanan dan keamanan berbisnis, kecerdasan produsen dan konsumennya, serta jaringan usaha yang saling mengisi. Teori lain yang berkembang dari AS, adalah konsep strategis yang sejak 1960 digunakan pemerintah AS, disebut pendekatan DIME. DIME singkatan dari Diplomacy, Informational, Military, dan Economy. “Keempatnya dianggap sebagai representasi pokok dari instrumen kekuatan nasional AS yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain,” terang Haryo.
Lebih jauh Haryo menjelaskan konsep Porter dan DIME sebenarnya ekuivalen. Yakni, Diplomacy menjadi representasi jaringan bisnis, Informational menjadi reresentasi kecerdasan, Military menjadi representasi keamanan berbisnis, dan Economy merperesentasi faktor sumberdaya. “Keempat elemen instrumen kekuatan nasional AS tersebut sama pentingnya satu sama lain, sehingga kehilangan satu instrumen akan menghilangkan instrumen yang lain secara simultan,” tegasnya.
Pendekatan DIME, sebagaimana dijelaskan teori Porter Diamond, mensyaratkan adanya partisipasi warga AS di berbagai bidang untuk menjamin tercapainya kepentingan nasional. Hal ini bisa jadi merupakan cerminan sifat-sifat kepahlawanan. Di tengah arus informasi global yang semakin cepat dan meluas, dinamika persaingan di berbagai bidang dan tataran pun meningkat. “Di situ lah relevansi transformasi daya gempur menjadi daya saing sebagai perwujudan semangat kepahlawanan,” tegasnya.
Pada konteks Indonesia, jika masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan tahun 1945 sangat dekat generasi orang tua kita, maka generasi sekarang haruslah mewarisi nilai-nilai kepahlawanan yang sama, dan mengalami perjuangan itu sendiri. Dalam era globalisasi ini, perjuangan menciptakan daya saing dan kemampuan memaksimalkan kekuatan nasional merupakan pokok bahasan utama demi mengatasi musuh alami generasi sekarang. “Kita berada pada zaman di mana cita-cita para pendahulu kita harus bisa diwujudkan, yaitu masyarakat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur,” ungkap Haryo yang juga merupakan pakar tetap Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas).
Secara konsepsi, kata Haryo, Indonesia telah merumuskan konsep daya saing tersebut dengan Tujuan Negara yang diamanatkan kepada bangsa ini. Yakni, dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat. Yakni, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. “Ini adalah konsep daya saing sebagaimana DIME yang menjadi konsep nasional strategis AS atau sama halnya dengan Porter Diamond ketika diturunkan menjadi teori bisnis,” ungkap dia.
Haryo memerinci kemiripan konsep dalam pembukaan UUD 1945 tersebut dengan teori AS. Kesamaan yang dimaksud adalah: memajukan kesejahteraan umum sama dengan Economy-DIME dan faktor sumberdaya-Porter; mencerdaskan kehidupan bangsa sama dengan Informational-DIME dan representasi kecerdasan-Porter; ikut melaksanakan ketertiban dunia sama dengan Military-DIME dan keamanan berbisnis-Porter; serta berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sama dengan Diplomacy-DIME dan jaringan bisnis-Porter.
Oleh karena itu, menurut Haryo, konsep bela negara yang kini terus dikembangkan Indonesia, harus dikembalikan pada Tujuan Negara yang diamanatkan kepada bangsa ini, sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 1945. Dalam aplikasinya, bela negara harus dikontekstualisasi dengan masing-masing bidang yang digeluti oleh semua komponen bangsa. “Jadi bela negara tidak boleh seperti latihan semi militer saja. Warga negara yang menggeluti olahraga harus mewujud berdaya saing dalam bidang olahraga. Hal yang sama berlaku bagi pedagang, bela negaranya harus mewujud dalam perdagangan yang berdaya saing. Begitupun dalam bidang-bidang lainnya,” pungkas Haryo.
AWCPH UI Lembaga RIset dan Pengabdian Masyarakat
Hadir dalam acara Gus Dur Studies adalah perwakilan dari Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) diwakili oleh Brigjen TNI Ridho Hermawan, Abdul Sofa, dan Kol. INF Judi Firdaus. Dalam kesempatan tersebut juga Wantannas menjajaki kerjasama dengan AWCPH UI. AWCPH UI merupakan lembaga riset dan pengabdian masyarakat yang secara resmi berada di bawah Rektorat Universitas Indonesia. Ahmad Syafiq, Ph.D selaku Direktur AWCPH UI mengungkapkan keberadaan lembaga ini serupa dengan Kennedy Center for Governance yang berada di Harvard University.
AWCPH UI selama ini telah mengirim pakar-pakarnya untuk berkontribusi dalam berbagai program yang dikawal oleh Wantannas seperti Aksi Nasional Bela Negara. Pembicaraan kerjasama berlangsung sebelum acara Gus Dur Studies yang mengangkat Konsep Daya Saing berbasis Nilai Kebangsaan dan dibawakan oleh Haryo B.Rahmadi, Associate Researcher AWCPH-UI yang juga Pakar Wantannas. Kerjasama Wantannas dengan AWCPH-UI diarahkan untuk mengembangkan dialog dan program-program terobosan yang dapat semakin memperkokoh semangat persatuan dan kebangsaan dalam aktifitas positif. Acara ini juga dihadiri oleh banyak peminat dan pemerhati dari berbagai kalangan seperti dari GP Ansor, Ikatan Alumni Unhan, dan bahkan dari kalangan politik seperti perwakilan Partai Nasdem dari DPW DKI Jakarta.