Jakarta, 8 Mei 2025 — Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI) mengusulkan perubahan mendasar dalam sistem penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Dalam diskusi publik yang digelar Koalisi Pewarta Pemilu & Demokrasi di Media Center Bawaslu RI, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyampaikan gagasan pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan jeda dua tahun.
Usulan ini muncul menyusul evaluasi terhadap pemilu serentak 2024 yang dinilai terlalu padat dan menyulitkan proses logistik serta pengawasan. Dalam pelaksanaan pemilu tersebut, tahapan pemilu legislatif dan pemilihan presiden hanya berjarak beberapa bulan dari pilkada, yang menurut Bawaslu menimbulkan beban kerja luar biasa bagi penyelenggara.
“Di tahun yang sama, dengan berbeda bulan pemilu dan pilkada dilaksanakan, itu agak sempit sebenarnya,” ujar Rahmat Bagja.
Menurut Bagja, untuk Pemilu 2029 mendatang, Bawaslu mengusulkan agar pemilu nasional—meliputi pemilihan DPR, DPD, dan Presiden—dilaksanakan lebih dahulu. Sementara itu, pilkada gubernur, bupati, dan wali kota diusulkan digelar pada 2030 atau 2031. Dengan demikian, penyelenggara dapat bernafas lebih lega, dan kualitas penyelenggaraan pemilu bisa lebih terjaga.
Selain itu, Bagja menyoroti pentingnya waktu yang cukup bagi partai politik dalam mempersiapkan kader dan calon terbaiknya. Dengan adanya jeda dua tahun, parpol memiliki ruang lebih luas untuk melakukan konsolidasi dan penjaringan calon kepala daerah yang potensial.
“Dengan jeda ini, partai pengusung maupun pengusul bisa memanfaatkan waktu untuk bersinergi dalam memutuskan kepala daerah yang akan mereka dukung,” tambah Bagja.
Lebih lanjut, Bawaslu menilai bahwa sistem ini akan berdampak positif terhadap peningkatan partisipasi masyarakat dan mengurangi jumlah suara tidak sah. Banyaknya jenis surat suara yang harus dipilih dalam waktu bersamaan selama pemilu serentak kerap menimbulkan kebingungan di kalangan pemilih.
“Pertimbangan fundamental dalam model kesehatan pemilu adalah perlindungan hak pilih dan menghindari kebingungan pemilih. Juga untuk menekan jumlah surat suara tidak sah karena terlalu banyak yang harus dipilih,” jelas Bagja.
Bawaslu juga mencatat bahwa tantangan logistik dalam pemilu serentak sangat besar. Pada pemilu 2024, waktu yang tersedia untuk pengadaan dan distribusi logistik sangat terbatas, sehingga rawan terjadi kesalahan, keterlambatan, atau bahkan kekurangan logistik.
“Waktu untuk pengadaan dan distribusi logistik seharusnya diperluas. Dengan begitu, tidak terjadi distribusi logistik tertukar, terlambat, atau kurang,” kata Bagja. Ia juga menyebut pemisahan ini dapat mengurangi kesalahan administratif dalam penghitungan dan rekapitulasi suara.
Usulan Bawaslu ini kini menjadi bagian dari bahan pertimbangan dalam revisi Undang-Undang Pemilu yang telah ditetapkan sebagai prioritas oleh Panitia Kerja Program Legislasi Nasional (Panja Prolegnas) untuk tahun 2025. Bawaslu berharap usulan tersebut dapat menginspirasi pembentukan sistem pemilu yang lebih efektif, adil, dan partisipatif di masa depan.
“Ini bukan hanya soal efisiensi, tapi juga soal kualitas demokrasi kita ke depan,” pungkas Bagja.