TERITORIAL.COM, JAKARTA – Aksi demonstrasi besar-besaran dari puluhan ribu buruh rencananya akan digela pada Kamis (28/08/2025).
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan, massa buruh menuntut kenaikan upah minimum yang signifikan untuk tahun 2026.
Aksi yang rencananya akan berpusast di depan Gedung DPR RI atau Istana Kepresidenan ini diperkirakan akan diikuti oleh massa dalam jumlah yang besar.
“Tidak kurang dari 10 ribu buruh dari Karawang, Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang dan DKI Jakarta akan bergerak menuju Jakarta,” ungkap Iqbal.
Gerakan yang diberi nama HOSTUM (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah) tersebut bukan hanya terjadi di Jakarta.
Said memastikan jika aksi serupa akan digelar serentak di berbagai provinsi pusat industri besar, mulai dari Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga kota-kota besar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
“Gerakan ini diberi nama Hostum (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah) dan akan dilakukan secara damai. Aksi ini adalah momentum untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan agar pemerintah berpihak pada kepentingan pekerja,” tutur Iqbal.
Tuntutan utama yang jadi pemicu gelombang protes tersebut karena penolakan pada sistem upah murah.
Buruh menuntut kenaikan upah minimum nasional yang dianggap layak untuk menghadapi biaya hidup yang makin meningkat.
“Buruh menuntut kenaikan upah minimum nasional sebesar 8,5 persen – 10,5 persen pada tahun 2026. Perhitungan ini berdasarkan formula resmi yang ditetapkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168, yakni inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu,” jelas Iqbal.
Lewat data yang dipegang buruh, proyeksi inflasi dari Oktober 2024 hingga September 2025 mencapai 3,62 persen, sementara pertumbuhan ekonomi berada di angka 5,1 – 5,2 persen.
Angka tersebut yang menjadi dasar tuntutan kenaikan upah minimum di kisaran 8,5 hingga 10,5 persen.
Tak hanya upah, isu outsourcing juga menjadi sorotan tajam.
Iqbal juga menegaskan bahwa putusan MK sudah membatasi praktik outsourcing, tetapi implementasinya di lapangan masih liar.
“Pekerjaan ini tidak boleh di-outsourcing. Outsourcing hanya untuk pekerjaan penunjang misalnya keamanan. Karena itu, buruh menuntut agar pemerintah mencabut PP Nomor 35 Tahun 2021 yang melegalkan outsourcing secara luas,” katanya.
Kemudian, buruh juga menyoroti beban pajak yang semakin mencekik rakyat.
Said Iqbal menilai rakyat di berbagai daerah tersiksa karena kenaikan pajak yang tidak wajar, seperti PBB di Pati dan Cirebon.
“Di tengah kondisi daya beli yang terus melemah, kebijakan menaikkan pajak justru melukai masyarakat. Konsumsi rumah tangga menurun, ekonomi melambat, sementara rakyat dipaksa menanggung beban tambahan. Ironisnya, orang kaya justru diampuni lewat tax amnesty,” jelas Iqbal.
Karenanya, buruh menuntut reformasi pajak yang berpihak pada pekerja, yakni menaikkan Penadapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp4,5 juta menjadi Rp7,5 juta per bulan, serta menghapus pajak atas THR dan pesangon.
“Jika pajak THR dan pesangon dihapus, uang itu tidak hilang dari perputaran ekonomi. Justru akan kembali ke pasar dalam bentuk konsumsi barang dan jasa, yang pada akhirnya menghasilkan PPN untuk negara. Artinya, negara tidak benar-benar kehilangan penerimaan, hanya cara pungutnya yang lebih adil,” tutur Iqbal.
(*)

