TERITORIAL.COM, JAKARTA – Menjelang vonis, sejumlah mantan hakim terlibat dalam kasus suap putusan lepas pada perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) menyampaikan protes keras atas tuntutan maksimal yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Mereka menilai tuntutan tersebut tidak adil, baik dari segi besaran hukuman maupun pertimbangan hal-hal meringankan.
Dua tokoh utama protes ini adalah Muhammad Arif Nuryanta, mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, dan Djuyamto, hakim ketua majelis dalam perkara CPO.
Mereka dituntut sangat berat, dan menurut pengacaranya, tidak proporsional jika dibandingkan dengan tuntutan dalam kasus serupa.
Arif dituntut 15 tahun penjara oleh JPU Kejaksaan Agung.
Dalam kasus lain, eks Ketua PN Surabaya, Rudi Suparmono, misalnya, dituntut 7 tahun penjara meski didakwa dengan dua pasal berbeda.
“Bayangkan saja, disparitas tuntutan pidana antara terdakwa Rudi Suparmono dengan terdakwa Muhammad Arif Nuryanta,” ujar Pengacara Arif, Philipus Sitepu, saat menyampaikan duplik dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).
Philipus juga menggarisbawahi bahwa Arif hanya didakwakan satu pasal (Pasal 6 ayat (2) UU Tipikor), sementara Rudi dikenakan dua pasal. Namun tuntutan terhadap Arif jauh lebih berat.
“Padahal Muhammad Arif Nuryanta dan Rudi Suparmono memiliki kesamaan, yaitu tidak berkapasitas sebagai majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara,” tambah pengacara Arif.
Pengembalian Uang Suap Tak Diperhitungkan
Salah satu poin protes penting dari kubu terdakwa adalah pengembalian uang suap tidak dijadikan pertimbangan sebagai hal meringankan.
Arif mengklaim telah mengembalikan uang suap kepada negara, tetapi jaksa dianggap tidak memasukkannya sebagai faktor yang meringankan.
Philipus menyoroti Pedoman Jaksa Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang tuntutan pidana korupsi yang secara tegas menyebutkan bahwa pengembalian uang ke negara harus menjadi dasar hal-hal meringankan.
Menurut Philipus, tidak mengakui pengembalian uang hasil suap bisa menjadi implikasi buruk, membuat terdakwa korupsi di masa depan tidak mau mengembalikan hasil korupsi karena khawatir tuntutan mereka tak berkurang.
Protes dari Djuyamto: “Jaksa Tak Punya Hati Nurani”
Sikap protes juga disuarakan oleh Djuyamto, yang merasa tuntutan 12 tahun penjara terhadapnya sangat tidak manusiawi.
Djuyamto dan kuasa hukumnya menilai jaksa abai terhadap sikap kooperatifnya selama penyidikan. Menurutnya, dia telah membantu membuka kasus suap, termasuk mendorong saksi-saksi lain untuk mengungkap jumlah suap.
Ia juga menegaskan bahwa dirinya sudah mengembalikan seluruh uang suap yang diterima, sekitar Rp 8,05 miliar, meskipun jaksa menyebut jumlah suap yang dituduhkan berbeda.
“Saya tegas meminta hukuman seadil-adilnya, bukan seringan-ringannya,” tegas Djuyamto.
Ia berharap majelis hakim mampu memutus putusan yang menegakkan keadilan, bukan sekadar formalitas penegakan hukum.
Rincian Tuntutan Jaksa
Berdasarkan sidang tuntutan pada 29 Oktober 2025 di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Muhammad Arif Nuryanta, dituntut 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta (subsider 6 bulan), uang pengganti Rp 15,7 miliar (jika tidak bayar, harta disita, jika aset habis, 6 tahun penjara).
Djuyamto (Ketua Majelis), dituntut 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta (subsider 6 bulan), uang pengganti Rp 9,5 miliar (subsider 5 tahun).
Agam Syarif Baharudin, dituntut 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta (subsider 6 bulan), uang pengganti Rp 6,2 miliar (subsider 5 tahun).
Ali Muhtarom, dituntut 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta (subsider 6 bulan), uang pengganti Rp 6,2 miliar (subsider 5 tahun).
Wahyu Gunawan (Panitera Muda PN Jakut), dituntut 12 tahun penjara dan uang pengganti Rp 2,4 miliar.
Dalam dakwaan jaksa, total suap yang diterima oleh Arif, Djuyamto, Agam, Ali, dan Wahyu dari para pengacara/kepentingan korporasi sawit (Wilmar Group, Permata Hijau Group, Musim Mas) mencapai USD 2,5 juta (± Rp 40 miliar).
Dalam kasus Ali Muhtarom, Kejaksaan Agung sempat menyita Rp 5,5 miliar dari rumahnya yang disimpan di bawah kasur dalam bentuk uang asing.
Vonis untuk para mantan hakim ini direncanakan dibacakan pada 3 Desember 2025 di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Dalam waktu dekat, masyarakat akan menanti apakah permohonan keadilan mereka dipenuhi oleh majelis hakim atau tidak

