Jakarta, Teritorial.Com – Kasus agraria alias pertanahan semakin menunjukan dampak yang serius dalam kelanjutan kehidupan masyarakat dunia saat ini. Revolusi industri era justru dampak dari praktik perampasan tanah yang terus terjadi secara masif. Global Land Forum (GLF) sebagai sebuah LSM mengungkapkan fakta bahwa Sedikitnya 197 pemimpin organisasi, aktivis, dan jurnalis tewas kurun waktu 2017 karna mempertahankan tanah dan sumber-sumber penghidupan mereka.
Situasi tersebut berlanjut di tahun 2018, di mana tercatat 66 orang telah terbunuh sejauh ini. Saat ini mereka masih rentan terhadap intimidasi, kriminalisasi bahkan ancaman pembunuhan. Atas dasar situasi tersebut, lebih dari 800 organisasi masyarakat sipil, organisasi rakyat, organisasi pembangunan internasional, badan-badan PBB, akademisi hingga lembaga pemerintahan akan bertemu di Bandung, dalam perhelatan Global Land Forum (GLF) ke-8. Mereka menuntut pemenuhan hak atas tanah bagi rakyat, khususnya petani kecil, tuna wisma, nelayan miskin, perempuan dan masyarakat adat, serta perlindungan bagi pejuang hak atas tanah dan lingkungan.
Dalam diskusi yang dihadiri oleh Ketua Direktur ILC, Mike Taylor, menyatakan bahwa Salah satunya ketiadaan peraturan presiden sebagai landasan pelaksanaan reforma agraria (Perpres RA) sehingga agenda yang telah dicanangkan menjadi tersendat ditengah konflik agraria yang terus terjadi di lapangan. Sertifikasi saja tidak cukup, kami menuntut reforma agraria sejati ”kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada saat peluncuran resmi Global Land Forum 2018 di Istana Negara di Jakarta, 20 September 2018.
GLF merupakan forum pertanahan global terbesar di dunia yang diselenggarakan International Land Coalition (ILC), bekerjasama dengan Panitia Nasional GLF, dan Kantor Staf Presiden (KSP), didalamnya kini sudah diikuti 250 anggota yang berasal dari NGO, organisasi masyarakat adat, serikat tani, lembaga penelitian, dan organisasi antar pemerintah di 77 negara.
“Terpilihnya Indonesia sebagai negara tuan rumah penyelenggara GLF oleh Dewan Global ILC didasarkan pada beberapa perkembangan signifikan, diantaranya dari sisi kemajuan gerakan sosial yang memperjuangkan hak atas tanah, serta adanya kemauan politik pemerintah mendorong prosesproses pengakuan hak atas tanah melalui kebijakan reforma agraria dan penyelesaian konflik,” ujar Mike Taylor dalam diskusi yang digelar di Bakoel Coffe Cikin Jakarta Pusat Jummat (22/9/2018).
Dalam keterangan disampaikan bahwa perampasan tanah yang memicu konflik-konflik agraria di lapangan terus terjadi dan belum tersentuh oleh agenda reforma agraria. Ada jutaan jiwa petani, masyarakat adat dan nelayan yang menjadi korban konflik agraria. Presiden harus segera mengeluarkan keputusan politikpenyelesaian konflik agraria di seluruh di tanah air. Sekaligus memastikan pendekatan-pendekatan keamanan, yang bersifat mengkriminalkan dan represif kepada masyarakat di wilayah konflik. di desadesa, di kampung, dapat segera dihentikan.
Tahun ini, GLF membawa tema “United for Land Rights, Peace and Justice” dengan beberapa isu dan sub-tema diantaranya, reforma agraria sejati, kedaulatan pangan, perampasan tanah, hak perempuan atas tanah, masyarakat Adat, perubahan iklim, dan krisis regenerasi petani, untuk membahas dan mempromosikan tata kelola pertanahan berbasis masyarakat (people-centered land governance)
“Masyarakat Adat dan komunitas lokal melindungi separuh dari lahan dunia, tetapi hanya 10 persen yang diakui. Situasi tersebut meenyebabkan perampasan tanah menjadi tantangan besar. Di banyak negara, mereka berjuang membela hak-hak tanah dengan mempertaruhkan nyawa,” kata Direktur ILC, Mike Taylor. “GLF merupakan momen yang tidak ternilai untuk menggali solidaritas, menyatukan kembali dan merencanakan aksi bersama, tutup Mike.