Jakarta, Teritorial.Com – Sejak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Greenpeace mengatakan kualitas udara di Jakarta tak pernah berada di indikator ‘baik’ selama masa imbas pandemi virus corona dari 31 Maret hingga 21 April.
Menurut data AirVisual, Jakarta sempat berada di peringkat pertama sebagai kota terpolusi di dunia pada 27 April 2020. Jakarta memiliki Air Quality Index (AQI) sebesar 142. Disusul oleh Yangon (Myanmar), Shenzhen (China), Hangzhou (China) dan Wuhan (China).
Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu dilansir dari CNNIndonesia mengatakan bahwa data AirVisual dan AirNow pada 27 April 2020 lalu menunjukkan Air Quality Index (AQI) dengan polutan PM 2,5 berada di angka 142. “Terakhir saya ambil data hingga 21 April datanya tidak ada yang hijau data dari US Embassy di Monas (Jakarta Pusat) dan Blok M (Jakarta Selatan),” kata Bondan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (27/4).
Saat ini AQI Jakarta menurun ke angka 105, membuat Indonesia berada di peringkat keempat. Dengan angka ini, udara sangat tidak sehat bagi orang sensitif dengan gangguan pernapasan atau asma.
Bahkan Jakarta Selatan memiliki 154 AQI yang berada di level tidak sehat. Dengan angka tersebut, polusi udara bisa meningkatkan efek samping dan memperburuk kesehatan jantung dan paru-paru, terutama orang-orang sensitif.
Bondan mengatakan secara geografis, Jakarta Selatan memang rentan dihuni oleh polutan PM 2,5 berbentuk debu dengan ukuran sangat kecil. Ia mengatakan daerah Jakarta Selatan mengalami turbulensi pada sore hari.
Ia menjelaskan, Jakarta didominasi angin yang bergerak dari utara dan selatan Di pagi hari, angin laut berembus cepat dari utara menuju selatan wilayah Jakarta. Pada sore hari, angin berbalik arah dengan kecepatan yang lebih lambat dari pagi hari. Inilah yang menyebabkan terjadi gulungan polusi udara di Jakarta Selatan. “Jadi polutan yang pada pagi hari tersapu ke arah selatan, harusnya balik lagi ke utara malah berkumpul di selatan. Makanya kalau selatan itu jangan heran PM 2,5 lebih tinggi. Karena kondisi geografis di Selatan cenderung mengumpulkan polutan,” ujar Bondan.